SEJUTA KASIH TERISYARATKAN
Inggris
ketika musim dingin
Andai
semua cinta itu bisa diungkapkan dengan kata tidak hanya tindakan. Tapi
tindakan adalah wujud nyata cinta. Hujan salju di luar jendela membawaku pada
sebuah cerita.
***
Namaku Renaldi Cahya. Lahir,
Yogyakarta, 25 tahun yang lalu. Kulalui 25 tahun nafasku dengan berbagai warna.
Hitam, putih, tapi pelangilah yang mendominasi. Semua tentang hidupku,
termetamorfosa darinya : ayah. Laki-laki 50 tahun yang diam. Diam dalam sayangnya.
Diam dalam masalahnya. Dan yang memuakkan adalah diam pada anaknya! Maaf, yang
kumaksud bukan diam dalam bicara, tetapi diam dalam cintanya, karena dia bukan
penyair yang pandai berkata-kata.
***
Sejuta kasih terisyaratkan
·
ULAT (memakan)
Ambisius. Galak.
Bahkan kasar. Itulah sederet kata yang ku sematkan padanya, ayah. Cinta di
matanya tidak lagi cinta saat aku mulai mengerti mendefinisikan sebuah kata.
Ya, saat aku pandai menerka-nerka arti setiap perilakunya. Ayahku bukan ayahku!
Kata terkejam yang pernah ku batin untuknya.
Masa kecilku
kurasakan robek jiwaku. Sering aku menangis dipojokan kamar setiap kali
bentakan keras ku terima darinya.
‘Jadi
laki-laki itu harus kuat, tidak boleh lemah! Lawan mereka! Tidak hanya
menangis, dengan menangis berarti kamu bukan anak ayah!’
kata-kata yang membuatku terus tersedu-sedu dalam tangisku.
Keras. Itulah
didikan yang kuterima darinya. Saat umurku baru delapan tahun, aku sudah
dikenalkan bela diri. Usia yang terlalu dini! Siapa lagi yang mengajariku kalau
bukan dia? Seorang pendekar silat dimasa mudanya. Ayah! Dia menendangku. Keras.
Keras sekali! Sampai-sampai aku meringis menahan sakit. Dia mendekatiku.
Mendirikanku. Dan menendangku untuk sekian kalinya. Tidak ada perlawanan. Aku
pasrah. Mataku berkaca-kaca. Tapi tidak! Dengan air mata berarti aku bukan
anaknya. Kata-kata itu terrgiang-ngiang di telingaku. Aku bangkit. Jari-jari
ini ku kepal. Ku eratkan setiap celahnya. Ku sarangkan tinjuku ke badan kekar
dihadapanku. Satu… dua… tiga… empat… kutendang, kanan … kiri… lalu kanan lagi.
“Tendangan dan pukulanmu lemah. Tidak bisa
untuk menjaga diri sendiri…”, komentar ayah di akhir latihan. Pujian? Arggghh,
mimpi yang tidak pernah terwujud nyata! Aku slalu mengharapkan itu keluar dari
mulutnya. Tapi sia-sia. Dia dingin, akan selalu dan selamanya bongkah es. Aku
benci dia, tapi hatiku ingin slalu merekam cintanya.
Aku sesenggukan.
Air mata pelan-pelan terjatuh menguraikan kepedihan. Masa kanak-kanakku yang
pahit. Adakah bahagia darinya yang bias kurengkuh? Hasil bela diri itu
mengubahku menjadi anak yang tangguh. Anak yang ditakuti oleh teman-teman
sebayaku. Mereka menganggapku wah, kamu hebat! Tapi bukan pujiannya. Batinku
tersayat luka!
“Jangan main keluar rumah, sore ini
les bahasa inggris. Sebentar lagi Bu Tari datang. Cepat siapkan buku bahasa
inggrismu!“ sosok monster itu mendatangiku dan memerintahkan hal yang ku benci.
Bahasa asing itu telah merenggut waktu bermainku. Aku masih menangis.
Dia mendekatiku. “Kamu kenapa?” tanya
khawatir. Aku diam. Aku takut menatap matanya.
‘Yah!
Aku menangis karena ayah! Sifat ayah yang keras padaku! Sifat otoriter ayah!
Aku menderita yah. Disaat anak-anak seusiaku dengan leluasa bisa bermain, aku
sibuk dengan buku. Belajar dan belajar! Itu yang ayah tekankan padaku! Saat anak-anak
lain sekolah diantar ayahnya menggunakan motor, mobil, aku dengan susah payah
bersepeda yah, padahal ayah punya mobil yang bermilyar-milyar harganya. Di
akhir semester, aku juara dan mengangkat nama ayah. Tapi apa? Tak sedikitpun
ayah bangga dengan deretan angka 9 di raporku. Jangankan hadiah, pujian pun tak
pernah kudapatkan. Aku iri pada mereka, yah! Sangat iri dengan kedekatan mereka
dan ayahnya! Ayah bukan ayahku!’
“Cahya! Kamu kenapa? Katakan!” dia
kembali menanyaiku dengan bentakan disana. Pundakku dicengkeram erat. Matanya
menatapku tajam.
”Cahya ingin bermain dengan mereka
yah,” kataku takut. Aku tertunduk dan terus menangis. Serangkaian luka dipintal
olehnya di hati ini
“Cahya dengarkan ayah! Waktu adalah
kesempatan. Kita harus memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Ayah memberimu
nama ‘Cahya’ agar kamu menjadi
cahaya. Cahaya yang menerangi kegelapan. Cahaya yang selalu menyinari
kehidupan…” dia meninggalkanku. Aku tahu, yah. Bahkan aku sudah sangat tahu
yah. Apa yang ayah katakan itu benar. Tapi aku tersiksa yah. Aku menjadi
pribadi yang kaku, keras kepala dan egois. Itu semua karena didikan ayah. Aku
robot manusia ayah. Sungguh, aku rindu yah. Aku rindu kehangatan ayah. Dimana
sosok ayah yang dulu? Dimana sosok ayah yang selalu menaikkan kepunggungnya
saat ayah pulang kerja? Dimana sunggingan senyum saat melihatku bisa membaca
dulu, yah? Kemana semua itu menghilang? Kemana yah! Kenangan itu hampir musnah
bersama hatiku yang setiap harinya kau sayat luka. Ayah seperti ulat yang merampas!
Memakan setiap keindahan daun dan akhirnya musnah!
·
KEPOMPONG ( Tidak terdefinisi tapi
didefinisikan)
SMP adalah masa
dimana kebebasan mulai kau berikan. Kau tak lagi menendangku saat latihan bela
diri. Bela diri kau hentikan. Sebagai gantinya kau memasukkanku ke sebuah
padepokan silat. Aku bersyukur yah. Jadwalku tidak sepadat yang kau berikan
dulu. Kau jarang membentakku. Dan yang aku senangi kau tak sekeras dulu, yah.
Saat SMP juga
aku harus jauh darimu, yah. Aku ingin sekolah disini. Bersama ayah. Meski aku
benci ayah, tapi ada darah yang mengalir dari ayah. Sayang, ayah memasukanku ke
sekolah favorit di kota nan jauh di sana. Aku menolak. Lagi-lagi, sifat ayah
yang keras kepala memaksaku untuk menerimanya dengan lapang dada. Alhasil, aku
harus indekos karena jarak terlampau jauh untuk kutempuh. Aku dituntut mandiri.
Mandi sendiri. Masak sendiri. Menyiapkan apa-apa sendiri. Diumur 12 tahunku ini?
Arghh, tega kau ayah! Tapi saat itu juga ruang kebebasan mulai terbuka untukku.
Aku mulai bermain dengan teman-temanku. Teman kosku. Dan teman sekamarku,
Rangga. Aku asyik dengan mereka. Disetiap hari liburnya kuhabiskan untuk
bermain. Jam belajarku berkurang drastis saat aku jauh darimu yah. Aku merasa
bebas. Lari dari kerangkeng egomu, yah. Aku lupa padamu, yah. Bertemu padamu
pun aku malas. Menghubungimu lewat telepon pun bisa dihitung dengan jari.
Disini aku lepas dari ambisius ayah. Aku bukan robot ayah lagi. Kuakui
lingkungan membawa pengaruh bagiku. Enam bulan cukup merubah pola hidupku. Aku
malas belajar. Aku hanya bermain dan bermain. Itu yang ada dipikiranku. Masa
kanak-kanakku seakan bertukar dengan masa remajaku. Namun, Tuhan menegurku.
Diakhir semester kudapati hamparan nilaiku yang berdominasi 7. Kau pun
memarahiku dan memaki-makiku seenak kau mau.
“Cahya! Kamu itu pelajar, tugasnya ya belajar!
Jangan main-main terus!” suara itu terdengar galak. Aku di introgasi
habis-habisan malam itu. Aku lesu, tidak ada gairah untuk menjawab disana.
“Kalau kamu masih begini terus.
Nilai kamu masih 7, ayah tidak akan kasih kamu uang jajan lagi! Pokoknya ayah
tidak mau tahu, semester depan nilai kamu harus 9 semua” suara itu menghardikku
kejam.
“Tapi yah…”suaraku lirih hampir
tidak terdengar.
“Tidak ada tapi-tapian! Semua itu
bisa kamu dapatkan lagi asal kamu mau berusaha. Terus belajar. Tetap semangat.
Doa ayah selalu menyertaimu…” matanya berkaca-kaca. Kudengar suaranya bergetar.
Baru kali ini kulihat dia peduli padaku. Aku hampir saja menangis terharu
mendengar ucapannya. Tapi lagi-lagi, menangis adalah suatu hal yang dia benci. Ku tahan. Hingga karena saking biasanya, air mata itu tidak mau
menetes. Tapi hatiku berteriak ingin memeluknya. Ingin menangis di dadanya.
Sayang, ragaku tak sedikitpun bergerak.
“Cahya janji sama ayah. Cahya akan
belajar seperti dulu lagi. Cahya akan menjadi cahaya yang ayah impikan. Cahya
selalu ingat pesan ayah…” kataku yakin, entah kenapa lidahku begitu lancar
mengucapkan kata-kata itu. Ayah yang dulu kubenci, ayah yang dulu kuanggap
monster, kini seakan malaikat yang menolongku saat sayapku mulai rapuh.
·
KUPU-KUPU (Sempurna, sesempurna : ayah)
Masa
SMA membuat hubunganku denganmu semakin membaik, ayah. Kita sering berdiskusi.
Kau tidak lagi seperti bongkahan es di khatulistiwa. Perlahan es itu mulai
mencair. Perlahan juga aku kembali mencintaimu ayah. Tidak sulit untuk meraih
nilai 9 karena aku menuruni sifat cepat tanggap darimu, yah. Kau tidak lgi
mengekangku seperti dulu. Apa karena aku sudah dewasa sehingga kau menganggapku
sudah bisa menentukan arah hidupku sendiri? Benarkah itu yah? Mungkin itu salah
satunya. Seiring bertambahnya usia aku mulai mengenal sosokmu, yah. Sosok yang
pernah hilang dimataku. Perhatianmu perlahan menyentuh bagian terkeras hatiku
yang dulu kau ubah menjadi batu. Ada rasa yang menjalar untuk kembali
mencintaimu.
“Cahya,
selamat ya, kamu berhasil lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Ayah bangga
padamu,” katanya sambil menepuk-nepuk pundakku. Oh Tuhan? Benarkah yang
kudengar? Tidak salahkah yang ku dengar? Ayah memujiku? Selama ini ayah bangga
padaku? Oh, aku akan selalu mengenang momen bahagia ini. Ayah, tembok kebencian
padamu dulu runtuh saat ini juga. Ayah yang kembali ku banggakan. Ayah terbaik
yang pernah ada. Dan ayah yang sempurna saat kepompong itu berubah menjadi
kupu-kupu. Indah. Seindah cinta ayah untukku. “Makasih yah, itu semua juga
berkat doa ayah,” kataku terharu.
“Ayah
bangga sekali nak …” lagi-lagi ayah mengucapkannya dengan panggilan sayang,
nak. Ah ayah. Kau membuatku merasa bersalah telah membencimu. Maafkan aku, yah.
“Kali
ini ayah akan memberikan kesempatan sama kamu. Kamu mau kuliah di dalam negeri
atau di luar negeri?” katanya lagi. Oh Tuhan. Dia terlalu baik untukku.
Dengan
spontan aku menjawab, “ keluar negeri yah. Cahya mau melanjutkan kuliah di
Cambridge University di Inggris sana… itu pun kalau ayah merestui, “ kataku.
Itu adalah mimpi yang dulu pernah ku ukir. Mimpi yang ku ukir dengannya, entah
ayah ingat atau tidak, dulu ayah pernah menunjukkan foto-foto Cambridge
University melalui internet. Ayah juga menunjukkan foto ayah waktu wisuda dulu.
Sejak saat itu juga, aku bercita-cita menginjakkan kaki disana. Seperti ayah,
30 tahun yang lalu.
“Pasti.
Ayah merestui pilihanmu, nak. Kejarlah cita-citamu disana. Ayah akan selalu
mendoakan kebaikan untukmu…” matanya kembali berkaca-kaca. Dia memelukku erat.
Erat sekali. Ini adalah pertama kalinya kurasakan kehangatan cinta seorang ayah
yang nyata. Kubalas dengan pelukannya. Hubungan yang dulunya dingin kini menghangat.
Ayah, aku ingin ayah tahu bahwa aku dulu pernah membencimu. Tapi sekarang aku
cinta kau karna Allah yah.
Akhirnya
aku terbang ke Inggris. Ayah yang mempersiapkan semuanya. Dia semangat menuju
cita-citaku. Sempat kutahu dia menguraikan air mata saat melepas kepergianku di
Bandara Adi Sucipto. Air mata kerinduan. Air mata sayang. Dan air mata penuh
kasih. Juga air mata yang entah selama ini tidak bisa kusadari. Dia kembali
memelukku, bahkan lebih erat.
Yah,
apa yang ayah ajarkan berguna untukku disini. Aku mandiri tanpa ayah. Aku bisa
mengatur keuanganku sendiri. Juga kemampuan bahasa inggris sangat membantuku
berkomunikasi disini. Kecakapanku dalam bela diri juga menolongku saat aku
dikepung oleh kawanan perampok saat aku pulang kuliah, yah.
Yah,
terima kasih atas jasa-jasamu yang tidak kusadari selama ini. Entah kenapa malam
ini aku benar-benar rindu dengan ayah. Aku ingin bertemu dengan ayah. Lalu
tiba-tiba telepon dari ibu mengabarkan bahwa ayah sudah meninggal. Aku
menangis, menangisi kebencianku dulu padamu, yah. Tidak kusangka Adi Sucipto
Airport adalah saksi bisu peluk cium terakhir kita yah. Kenapa waktu begitu
singkat menyadarkan cintamu yah? Saat ini kau benar-benar pergi untuk
selamanya. Tidak ada lagi teguran. Tidak ada lagi senyum yang merekah di bibirmu
untukku. Semua yang tersisa hanyalah kenangan. Ayah, maafkan aku yang sempat
membencimu. Kini jasad itu meyakinkanku bahwa ayah telah pergi untuk
selama-lamanya. Kau pergi dengan senyum yah. Ayah tenanglah di surga sana. Aku
hanya bisa berdoa agar ayah bahagia di surga Tuhan.
Engkaulah nafasku yang
menjaga di dalam hidupku
Kau ajarkan aku menjadi
yang terbaik
Kau tak pernah lelah
Sebagai penopang dalam
hidupku
Kau berikan aku semua
yang terindah
Aku hanya memanggilmu
ayah
Disaat ku kehilangan
arah
Aku hanya mengingatmu
ayah
Jika aku tlah jauh
darimu
Seventeen
– Ayah.
Ayah,
Cahya anakmu sekarang telah menjadi cahaya, citamu. Cahya lulus dengan predikat
Cum Laude, yah. Ayah, kasih sayang yang kau berikan selalu terekam di memoriku.
Kasih sayang yang tidak bisa kudapatkan dari ibu. Sejuta kasihmu yang
terisyaratkan untukku. Terimakasih ayah. Aku slalu menyayangimu. Untuk ayah
tercinta, Gunawan Putra.
***
Berakhir
pada musim semi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar