Selasa, 21 Oktober 2014

Untuk ayah aku, terimakasih atas semuanya. Terimakasih atas cinta yang kau curahkan untukku selama ini, terimakasih untuk kasih sayang yang tiada tara padaku. Tidak lupa aku ucapkan terimakasih kepada ibuku, ibu yang slalu mendoakanku, makasih atas segala cinta kalian :*

SEJUTA KASIH TERISYARATKAN

Inggris ketika musim dingin
Andai semua cinta itu bisa diungkapkan dengan kata tidak hanya tindakan. Tapi tindakan adalah wujud nyata cinta. Hujan salju di luar jendela membawaku pada sebuah cerita.
***
            Namaku Renaldi Cahya. Lahir, Yogyakarta, 25 tahun yang lalu. Kulalui 25 tahun nafasku dengan berbagai warna. Hitam, putih, tapi pelangilah yang mendominasi. Semua tentang hidupku, termetamorfosa darinya : ayah. Laki-laki 50 tahun yang diam. Diam dalam sayangnya. Diam dalam masalahnya. Dan yang memuakkan adalah diam pada anaknya! Maaf, yang kumaksud bukan diam dalam bicara, tetapi diam dalam cintanya, karena dia bukan penyair yang pandai berkata-kata.
***
Sejuta kasih terisyaratkan
·         ULAT (memakan)

Ambisius. Galak. Bahkan kasar. Itulah sederet kata yang ku sematkan padanya, ayah. Cinta di matanya tidak lagi cinta saat aku mulai mengerti mendefinisikan sebuah kata. Ya, saat aku pandai menerka-nerka arti setiap perilakunya. Ayahku bukan ayahku! Kata terkejam yang pernah ku batin untuknya.
Masa kecilku kurasakan robek jiwaku. Sering aku menangis dipojokan kamar setiap kali bentakan keras ku terima darinya.
‘Jadi laki-laki itu harus kuat, tidak boleh lemah! Lawan mereka! Tidak hanya menangis, dengan menangis berarti kamu bukan anak ayah!’ kata-kata yang membuatku terus tersedu-sedu dalam tangisku.
Keras. Itulah didikan yang kuterima darinya. Saat umurku baru delapan tahun, aku sudah dikenalkan bela diri. Usia yang terlalu dini! Siapa lagi yang mengajariku kalau bukan dia? Seorang pendekar silat dimasa mudanya. Ayah! Dia menendangku. Keras. Keras sekali! Sampai-sampai aku meringis menahan sakit. Dia mendekatiku. Mendirikanku. Dan menendangku untuk sekian kalinya. Tidak ada perlawanan. Aku pasrah. Mataku berkaca-kaca. Tapi tidak! Dengan air mata berarti aku bukan anaknya. Kata-kata itu terrgiang-ngiang di telingaku. Aku bangkit. Jari-jari ini ku kepal. Ku eratkan setiap celahnya. Ku sarangkan tinjuku ke badan kekar dihadapanku. Satu… dua… tiga… empat… kutendang, kanan … kiri… lalu kanan lagi.
 “Tendangan dan pukulanmu lemah. Tidak bisa untuk menjaga diri sendiri…”, komentar ayah di akhir latihan. Pujian? Arggghh, mimpi yang tidak pernah terwujud nyata! Aku slalu mengharapkan itu keluar dari mulutnya. Tapi sia-sia. Dia dingin, akan selalu dan selamanya bongkah es. Aku benci dia, tapi hatiku ingin slalu merekam cintanya.
Aku sesenggukan. Air mata pelan-pelan terjatuh menguraikan kepedihan. Masa kanak-kanakku yang pahit. Adakah bahagia darinya yang bias kurengkuh? Hasil bela diri itu mengubahku menjadi anak yang tangguh. Anak yang ditakuti oleh teman-teman sebayaku. Mereka menganggapku wah, kamu hebat! Tapi bukan pujiannya. Batinku tersayat luka!
“Jangan main keluar rumah, sore ini les bahasa inggris. Sebentar lagi Bu Tari datang. Cepat siapkan buku bahasa inggrismu!“ sosok monster itu mendatangiku dan memerintahkan hal yang ku benci. Bahasa asing itu telah merenggut waktu bermainku. Aku masih menangis.
Dia mendekatiku. “Kamu kenapa?” tanya khawatir. Aku diam. Aku takut menatap matanya.
‘Yah! Aku menangis karena ayah! Sifat ayah yang keras padaku! Sifat otoriter ayah! Aku menderita yah. Disaat anak-anak seusiaku dengan leluasa bisa bermain, aku sibuk dengan buku. Belajar dan belajar! Itu yang ayah tekankan padaku! Saat anak-anak lain sekolah diantar ayahnya menggunakan motor, mobil, aku dengan susah payah bersepeda yah, padahal ayah punya mobil yang bermilyar-milyar harganya. Di akhir semester, aku juara dan mengangkat nama ayah. Tapi apa? Tak sedikitpun ayah bangga dengan deretan angka 9 di raporku. Jangankan hadiah, pujian pun tak pernah kudapatkan. Aku iri pada mereka, yah! Sangat iri dengan kedekatan mereka dan ayahnya! Ayah bukan ayahku!’
“Cahya! Kamu kenapa? Katakan!” dia kembali menanyaiku dengan bentakan disana. Pundakku dicengkeram erat. Matanya menatapku tajam.
”Cahya ingin bermain dengan mereka yah,” kataku takut. Aku tertunduk dan terus menangis. Serangkaian luka dipintal olehnya di hati ini
“Cahya dengarkan ayah! Waktu adalah kesempatan. Kita harus memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Ayah memberimu nama ‘Cahya’ agar kamu menjadi cahaya. Cahaya yang menerangi kegelapan. Cahaya yang selalu menyinari kehidupan…” dia meninggalkanku. Aku tahu, yah. Bahkan aku sudah sangat tahu yah. Apa yang ayah katakan itu benar. Tapi aku tersiksa yah. Aku menjadi pribadi yang kaku, keras kepala dan egois. Itu semua karena didikan ayah. Aku robot manusia ayah. Sungguh, aku rindu yah. Aku rindu kehangatan ayah. Dimana sosok ayah yang dulu? Dimana sosok ayah yang selalu menaikkan kepunggungnya saat ayah pulang kerja? Dimana sunggingan senyum saat melihatku bisa membaca dulu, yah? Kemana semua itu menghilang? Kemana yah! Kenangan itu hampir musnah bersama hatiku yang setiap harinya kau sayat luka. Ayah seperti ulat yang merampas! Memakan setiap keindahan daun dan akhirnya musnah!

·         KEPOMPONG ( Tidak terdefinisi tapi didefinisikan)

SMP adalah masa dimana kebebasan mulai kau berikan. Kau tak lagi menendangku saat latihan bela diri. Bela diri kau hentikan. Sebagai gantinya kau memasukkanku ke sebuah padepokan silat. Aku bersyukur yah. Jadwalku tidak sepadat yang kau berikan dulu. Kau jarang membentakku. Dan yang aku senangi kau tak sekeras dulu, yah.
Saat SMP juga aku harus jauh darimu, yah. Aku ingin sekolah disini. Bersama ayah. Meski aku benci ayah, tapi ada darah yang mengalir dari ayah. Sayang, ayah memasukanku ke sekolah favorit di kota nan jauh di sana. Aku menolak. Lagi-lagi, sifat ayah yang keras kepala memaksaku untuk menerimanya dengan lapang dada. Alhasil, aku harus indekos karena jarak terlampau jauh untuk kutempuh. Aku dituntut mandiri. Mandi sendiri. Masak sendiri. Menyiapkan apa-apa sendiri. Diumur 12 tahunku ini? Arghh, tega kau ayah! Tapi saat itu juga ruang kebebasan mulai terbuka untukku. Aku mulai bermain dengan teman-temanku. Teman kosku. Dan teman sekamarku, Rangga. Aku asyik dengan mereka. Disetiap hari liburnya kuhabiskan untuk bermain. Jam belajarku berkurang drastis saat aku jauh darimu yah. Aku merasa bebas. Lari dari kerangkeng egomu, yah. Aku lupa padamu, yah. Bertemu padamu pun aku malas. Menghubungimu lewat telepon pun bisa dihitung dengan jari. Disini aku lepas dari ambisius ayah. Aku bukan robot ayah lagi. Kuakui lingkungan membawa pengaruh bagiku. Enam bulan cukup merubah pola hidupku. Aku malas belajar. Aku hanya bermain dan bermain. Itu yang ada dipikiranku. Masa kanak-kanakku seakan bertukar dengan masa remajaku. Namun, Tuhan menegurku. Diakhir semester kudapati hamparan nilaiku yang berdominasi 7. Kau pun memarahiku dan memaki-makiku seenak kau mau.
 “Cahya! Kamu itu pelajar, tugasnya ya belajar! Jangan main-main terus!” suara itu terdengar galak. Aku di introgasi habis-habisan malam itu. Aku lesu, tidak ada gairah untuk menjawab disana.
“Kalau kamu masih begini terus. Nilai kamu masih 7, ayah tidak akan kasih kamu uang jajan lagi! Pokoknya ayah tidak mau tahu, semester depan nilai kamu harus 9 semua” suara itu menghardikku kejam.
“Tapi yah…”suaraku lirih hampir tidak terdengar.
“Tidak ada tapi-tapian! Semua itu bisa kamu dapatkan lagi asal kamu mau berusaha. Terus belajar. Tetap semangat. Doa ayah selalu menyertaimu…” matanya berkaca-kaca. Kudengar suaranya bergetar. Baru kali ini kulihat dia peduli padaku. Aku hampir saja menangis terharu mendengar ucapannya. Tapi lagi-lagi, menangis adalah suatu hal yang dia  benci. Ku tahan. Hingga karena saking biasanya, air mata itu tidak mau menetes. Tapi hatiku berteriak ingin memeluknya. Ingin menangis di dadanya. Sayang, ragaku tak sedikitpun bergerak.
“Cahya janji sama ayah. Cahya akan belajar seperti dulu lagi. Cahya akan menjadi cahaya yang ayah impikan. Cahya selalu ingat pesan ayah…” kataku yakin, entah kenapa lidahku begitu lancar mengucapkan kata-kata itu. Ayah yang dulu kubenci, ayah yang dulu kuanggap monster, kini seakan malaikat yang menolongku saat sayapku mulai rapuh.

·         KUPU-KUPU (Sempurna, sesempurna : ayah)
Masa SMA membuat hubunganku denganmu semakin membaik, ayah. Kita sering berdiskusi. Kau tidak lagi seperti bongkahan es di khatulistiwa. Perlahan es itu mulai mencair. Perlahan juga aku kembali mencintaimu ayah. Tidak sulit untuk meraih nilai 9 karena aku menuruni sifat cepat tanggap darimu, yah. Kau tidak lgi mengekangku seperti dulu. Apa karena aku sudah dewasa sehingga kau menganggapku sudah bisa menentukan arah hidupku sendiri? Benarkah itu yah? Mungkin itu salah satunya. Seiring bertambahnya usia aku mulai mengenal sosokmu, yah. Sosok yang pernah hilang dimataku. Perhatianmu perlahan menyentuh bagian terkeras hatiku yang dulu kau ubah menjadi batu. Ada rasa yang menjalar untuk kembali mencintaimu.
“Cahya, selamat ya, kamu berhasil lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Ayah bangga padamu,” katanya sambil menepuk-nepuk pundakku. Oh Tuhan? Benarkah yang kudengar? Tidak salahkah yang ku dengar? Ayah memujiku? Selama ini ayah bangga padaku? Oh, aku akan selalu mengenang momen bahagia ini. Ayah, tembok kebencian padamu dulu runtuh saat ini juga. Ayah yang kembali ku banggakan. Ayah terbaik yang pernah ada. Dan ayah yang sempurna saat kepompong itu berubah menjadi kupu-kupu. Indah. Seindah cinta ayah untukku. “Makasih yah, itu semua juga berkat doa ayah,” kataku terharu.
“Ayah bangga sekali nak …” lagi-lagi ayah mengucapkannya dengan panggilan sayang, nak. Ah ayah. Kau membuatku merasa bersalah telah membencimu. Maafkan aku, yah.
“Kali ini ayah akan memberikan kesempatan sama kamu. Kamu mau kuliah di dalam negeri atau di luar negeri?” katanya lagi. Oh Tuhan. Dia terlalu baik untukku.
Dengan spontan aku menjawab, “ keluar negeri yah. Cahya mau melanjutkan kuliah di Cambridge University di Inggris sana… itu pun kalau ayah merestui, “ kataku. Itu adalah mimpi yang dulu pernah ku ukir. Mimpi yang ku ukir dengannya, entah ayah ingat atau tidak, dulu ayah pernah menunjukkan foto-foto Cambridge University melalui internet. Ayah juga menunjukkan foto ayah waktu wisuda dulu. Sejak saat itu juga, aku bercita-cita menginjakkan kaki disana. Seperti ayah, 30 tahun yang lalu.
“Pasti. Ayah merestui pilihanmu, nak. Kejarlah cita-citamu disana. Ayah akan selalu mendoakan kebaikan untukmu…” matanya kembali berkaca-kaca. Dia memelukku erat. Erat sekali. Ini adalah pertama kalinya kurasakan kehangatan cinta seorang ayah yang nyata. Kubalas dengan pelukannya. Hubungan yang dulunya dingin kini menghangat. Ayah, aku ingin ayah tahu bahwa aku dulu pernah membencimu. Tapi sekarang aku cinta kau karna Allah yah.
Akhirnya aku terbang ke Inggris. Ayah yang mempersiapkan semuanya. Dia semangat menuju cita-citaku. Sempat kutahu dia menguraikan air mata saat melepas kepergianku di Bandara Adi Sucipto. Air mata kerinduan. Air mata sayang. Dan air mata penuh kasih. Juga air mata yang entah selama ini tidak bisa kusadari. Dia kembali memelukku, bahkan lebih erat.
Yah, apa yang ayah ajarkan berguna untukku disini. Aku mandiri tanpa ayah. Aku bisa mengatur keuanganku sendiri. Juga kemampuan bahasa inggris sangat membantuku berkomunikasi disini. Kecakapanku dalam bela diri juga menolongku saat aku dikepung oleh kawanan perampok saat aku pulang kuliah, yah.
Yah, terima kasih atas jasa-jasamu yang tidak kusadari selama ini. Entah kenapa malam ini aku benar-benar rindu dengan ayah. Aku ingin bertemu dengan ayah. Lalu tiba-tiba telepon dari ibu mengabarkan bahwa ayah sudah meninggal. Aku menangis, menangisi kebencianku dulu padamu, yah. Tidak kusangka Adi Sucipto Airport adalah saksi bisu peluk cium terakhir kita yah. Kenapa waktu begitu singkat menyadarkan cintamu yah? Saat ini kau benar-benar pergi untuk selamanya. Tidak ada lagi teguran. Tidak ada lagi senyum yang merekah di bibirmu untukku. Semua yang tersisa hanyalah kenangan. Ayah, maafkan aku yang sempat membencimu. Kini jasad itu meyakinkanku bahwa ayah telah pergi untuk selama-lamanya. Kau pergi dengan senyum yah. Ayah tenanglah di surga sana. Aku hanya bisa berdoa agar ayah bahagia di surga Tuhan.
Engkaulah nafasku yang menjaga di dalam hidupku
Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik
Kau tak pernah lelah
Sebagai penopang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang terindah
Aku hanya memanggilmu ayah
Disaat ku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu ayah
Jika aku tlah jauh darimu
                                                Seventeen – Ayah.
Ayah, Cahya anakmu sekarang telah menjadi cahaya, citamu. Cahya lulus dengan predikat Cum Laude, yah. Ayah, kasih sayang yang kau berikan selalu terekam di memoriku. Kasih sayang yang tidak bisa kudapatkan dari ibu. Sejuta kasihmu yang terisyaratkan untukku. Terimakasih ayah. Aku slalu menyayangimu. Untuk ayah tercinta, Gunawan Putra.
***
Berakhir pada musim semi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar