KETULUSAN
HATI
Abu
kehitaman di langit yang melunturkan cerah masih belum puas meneteskan air
mata. Mentari yang beranjak ke peranduan seolah hilang tanpa jejak. Rinai hujan
membasuh rumput dedaunan. Takdir Tuhan yang dijalankaannya terasa berbeda.
Dunia yang beraja uang telah membuatnya tersingkir. Pandangan yang beraja angkuh
telah menenggelamkan dirinya.
Kebisingan hujan masih berlanjut. Suara itu mengusik keheningan sore yang telah bermalam. Dia termenung. Gerak matanya menelisik lurus pada garis tangannya yang halus. Dari ujung hingga ujung lagi. Dia lelah. Dia dendam dengan keadilan yang maya. Hingga dia kembali menghempaskan tangannya. Dia kesal.
"Apakah aku seorang yang sial? Ataukah aku orang yang angkuh dengan kapasitas otak di atas rata-rata? Mengapa dia sangat membenciku? Apa karena aku miskin?", tanyanya pada rinai hujan. Barangkali Tuhan mengirimkan jawaban lewat Mikail dengan hujannya. Dia kembali mengulang-ulang kalimat yang sama. Dan hasilnya tetap sama. Kalimat itu tetap beralpa jawaban. Hingga dia berhenti untuk bertanya. Dia kembali ke ranjangnya dan terbangun untuk bersujud panjang disepertiga malam yang tersisa.
***
"Kamu bisa Rina! Kamu memang tidak punya uang. Tapi kamu punya hati dan otak yang bisa diandalkan!" demikian dia berguman. Bahkan setiap kali dia hendak membuka sebuah pintu besar sebuah ruangan yang disebutnya kelas, dia slalu mengucapkannya dalam hati. Dan ketika pintu terbuka semua mata tertuju padanya.
"Hayy Rin... Pagi!"
"Kok tumben berangkatnya siang?"
"Rin, sini gabung!"
Ya! Dia memang hebat. Cantik, pintar, sopan, ramah, punya banyak teman dan hal-hal lain yang membuatnya istimewa. Sayang, keistimewaan itu membut pandangan iri pada mereka yang picik. Dan keluguan serta kemelaratan telah membuat celah untuk siapa saja yang ingin menjatuhkannya.
"Pagi semua. Maaf, aku tadi bangunnya kesiangan, jadi ya berangkatnya siang dong?" jawabnya.
"Hahaha... Bisa aja kamu Rin. Ehm... Rin, aku boleh pinjam buku tugasmu nggak? Aku belum mengerjakan tugas dari Bu Novi", kata temannya yang ada di meja belakang.
"Nih... Oh ya, itu yang nomor lima jawabannya ada di bawah", katanya sambil tersenyum, menandakan dia seorang yang murah hati.
Dia bahagia dengan teman-teman SMA yang slalu membuatnya tertawa. Sayang, Siska memandangnya dengan cara yang berbeda. Terkadang dia merasa sakit dengan hinaan yang dilontarkannya. Tapi apa hendak dikata? Kasta bawah tak ada hak untuk bersuara. Dia diam. Juga status junior telah mengikatnya untuk tidak bersuara.
...
Pelajaran tengah berlangsung. Ya. Matematika! Pelajaran yang paling disukai olehnya. Dia menikmati sekaligus memahami. Dia mencerna sekaligus mengerti.
Tok... Tok... Tok...
"Permisi", pintu diketuk dan muncullah Bu Rahma dari balik pintu. Bu Novi pun menghentikan aktifitas tulis menulis di papan tulis. "Ya", jawab Bu Novi.
"Arina Kusuma ada?", tanya Bu Rahma.
"Saya".
"Bisa ikut ibu ke ruang BK sekarang?"
"Permisi bu", dia pun meminta izin dari Bu Novi. Bu Novi mengangguk. Dan dia keluar kelas dengan penuh tanda tanya. Dia menerka-nerka kesalahan apa yang telah diperbuatnya. Atau pelanggaran apa yang dilakukannya? Sepanjang perjalanan dia tak henti-hentinya bertanya.
"Begini, ini ada surat. Tolong sampaikan kepada orang tuamu", kata Bu Rahma ketika mereka berdua sudah duduk di salah satu kursi.
"Surat apa ini bu?" tanya Rina tidak mengerti.
"Ini surat tagihan SPP karena SPP-mu sudah nunggak selama 6 bulan".
"Tapi Bu..."
"Kalau orang tuamu tidak bisa melunasi dalam waktu dekat ini, terpaksa kamu harus keluar dari sekolah ini", kata Bu Rahma sambil menghela nafas berat. Dia tahu sebenarnya Rina adalah siswa yang berprestasi. Beberapa waktu lalu dia telah mengharumkan nama sekolah di ajang nasional. Sayang, biaya membentur langkahnya untuk melanjutkan suksesnya.
Tanpa diketahui, Siska mendengar percakapan mereka dengan serius. Dalam hati dia tertawa kegirangan. Siska ingin cepat-cepat Rina di keluarkan dari sekolah favorit itu.
Rina keluar dari ruang BK dengan lesu. Di tangannya tergenggam kertas putih yang mengharuskan. Dia bingung. Dia tidak mungkin meminta pada orang tuanya. Dia tidak mau membebankan semua itu pada orang yang telah merawatnya. Dan pada keputusan puncak, dia berniat untuk tidak memberikan surat itu. Dia bertekad akan mencari uang sendiri.
Brukk... Arrghh...
"Maaf", dia telah menabrak seseorang. Surat di tangannya terjatuh. Tapi dia buru-buru memungut surat itu.
"Maaf", ulangnya.
"Iya, nggak papa kok", mata mereka bertatap. 'Amboi, cantik sekali gadis ini. Matanya bening dan teduh', batin seseorang yang ditabraknya.
"Maaf, aku harus ke kelas", Rina buru-buru berlalu dari cowok itu. Dia tidak mau tertinggal mata pelajaran yang disukainya. Sedangkan cowok itu hanya bisa memandang Rina tanpa kedip. Mulut cowok itu sedikit terbuka. Dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. 'Siapa nama gadis itu?', batinnya. Pesona gadis lugu itu telah membuatnya terpana. Namun, dia buru-buru pergi karena sebuah urusan telah menunggunya. Sepanjang jalan dia terus bertanya-tanya, 'gadis itu?'
***
Sampai beberapa hari ini pikiran tentang gadis itu tetap menjadi topik di malamnya. Gadis sederhana itu telah membuat Ansya bertanya-tanya.
"Siapa gadis itu?"
"Dia cantik sekali"
"Tatapan matanya membuat jantungku bergetar"
Ya. Setiap malam Ansya selalu mengeja kata-kata itu. Kadang dia tersenyum sendiri. Kadang dia menghayal. Dan kadang dia sempat tidak mengerti. Apakah gadis itu telah mengisi ruang kosong di hatinya?
"Tuhan, Aku mengaguminya dengan sederhana. Dan entah kenapa aku selalu memikirkannya. Siapa namanya? Dimana rumahnya? Dia kelas berapa? Tapi yang pasti hatiku slalu bergetar saat mengingatnya. Apakah ini yang dinamakan cinta?"
Dinding kamar tak memberikan jawaban. Hingga Ansya tertidur dan menikmati bunga ditidurnya. Dia bermimpi sedang mengejar-ngejar gadis itu.
***
Kriinngg~Kriinngg
Bel istirahat. Rina bersiap menjalankan aksinya. Dia berdoa. Kemudian dia mengeluarkan kue-kue yang akan dijualnya. Dia mengusir rasa malunya dan segera menjajakan dagangannya untuk melunasi tunggakan SPP-nya.
"Hayy teman-teman... Siapa yang mau beli kue?", serunya lantang. Teman-temannya mulai mengerubungi. Dengan lincah dia mempromosikan dagangannya. Ya. Dia berhasil.
"Rin, aku beli yang ini"
"Rin, aku mau yang itu"
"Ini Rin aku beli dua"
Sisanya kue itu ditawarkannya ke kelas lain. Dia berjalan dari ruang satu ke ruang yang lain. Semangatnya terus terbakar dalam langkah kakinya yang riang.
"Heyyy... Kamu!"
"Aku?" tunjuknya pada dirinya sendiri. Dia takut salah karena disitu banyak orang yang berlalu lalang.
"Iya, kamu!" seru Ansya dikejauhan sana. Rina pun mendekat, "Ada apa?", tanyanya.
"Kamu jualan kue?"
"Iya", jawab Rina. Satu poin itu telah membuat nilai plus untuk Rina di mata Ansya. Ansya salut dengan gadis yang ada di depannya.
"Ehhmm... Aku beli dua deh"
"Oke", Rina pun memasukkan kue-kue itu ke dalam plastik bening.
Kebisingan hujan masih berlanjut. Suara itu mengusik keheningan sore yang telah bermalam. Dia termenung. Gerak matanya menelisik lurus pada garis tangannya yang halus. Dari ujung hingga ujung lagi. Dia lelah. Dia dendam dengan keadilan yang maya. Hingga dia kembali menghempaskan tangannya. Dia kesal.
"Apakah aku seorang yang sial? Ataukah aku orang yang angkuh dengan kapasitas otak di atas rata-rata? Mengapa dia sangat membenciku? Apa karena aku miskin?", tanyanya pada rinai hujan. Barangkali Tuhan mengirimkan jawaban lewat Mikail dengan hujannya. Dia kembali mengulang-ulang kalimat yang sama. Dan hasilnya tetap sama. Kalimat itu tetap beralpa jawaban. Hingga dia berhenti untuk bertanya. Dia kembali ke ranjangnya dan terbangun untuk bersujud panjang disepertiga malam yang tersisa.
***
"Kamu bisa Rina! Kamu memang tidak punya uang. Tapi kamu punya hati dan otak yang bisa diandalkan!" demikian dia berguman. Bahkan setiap kali dia hendak membuka sebuah pintu besar sebuah ruangan yang disebutnya kelas, dia slalu mengucapkannya dalam hati. Dan ketika pintu terbuka semua mata tertuju padanya.
"Hayy Rin... Pagi!"
"Kok tumben berangkatnya siang?"
"Rin, sini gabung!"
Ya! Dia memang hebat. Cantik, pintar, sopan, ramah, punya banyak teman dan hal-hal lain yang membuatnya istimewa. Sayang, keistimewaan itu membut pandangan iri pada mereka yang picik. Dan keluguan serta kemelaratan telah membuat celah untuk siapa saja yang ingin menjatuhkannya.
"Pagi semua. Maaf, aku tadi bangunnya kesiangan, jadi ya berangkatnya siang dong?" jawabnya.
"Hahaha... Bisa aja kamu Rin. Ehm... Rin, aku boleh pinjam buku tugasmu nggak? Aku belum mengerjakan tugas dari Bu Novi", kata temannya yang ada di meja belakang.
"Nih... Oh ya, itu yang nomor lima jawabannya ada di bawah", katanya sambil tersenyum, menandakan dia seorang yang murah hati.
Dia bahagia dengan teman-teman SMA yang slalu membuatnya tertawa. Sayang, Siska memandangnya dengan cara yang berbeda. Terkadang dia merasa sakit dengan hinaan yang dilontarkannya. Tapi apa hendak dikata? Kasta bawah tak ada hak untuk bersuara. Dia diam. Juga status junior telah mengikatnya untuk tidak bersuara.
...
Pelajaran tengah berlangsung. Ya. Matematika! Pelajaran yang paling disukai olehnya. Dia menikmati sekaligus memahami. Dia mencerna sekaligus mengerti.
Tok... Tok... Tok...
"Permisi", pintu diketuk dan muncullah Bu Rahma dari balik pintu. Bu Novi pun menghentikan aktifitas tulis menulis di papan tulis. "Ya", jawab Bu Novi.
"Arina Kusuma ada?", tanya Bu Rahma.
"Saya".
"Bisa ikut ibu ke ruang BK sekarang?"
"Permisi bu", dia pun meminta izin dari Bu Novi. Bu Novi mengangguk. Dan dia keluar kelas dengan penuh tanda tanya. Dia menerka-nerka kesalahan apa yang telah diperbuatnya. Atau pelanggaran apa yang dilakukannya? Sepanjang perjalanan dia tak henti-hentinya bertanya.
"Begini, ini ada surat. Tolong sampaikan kepada orang tuamu", kata Bu Rahma ketika mereka berdua sudah duduk di salah satu kursi.
"Surat apa ini bu?" tanya Rina tidak mengerti.
"Ini surat tagihan SPP karena SPP-mu sudah nunggak selama 6 bulan".
"Tapi Bu..."
"Kalau orang tuamu tidak bisa melunasi dalam waktu dekat ini, terpaksa kamu harus keluar dari sekolah ini", kata Bu Rahma sambil menghela nafas berat. Dia tahu sebenarnya Rina adalah siswa yang berprestasi. Beberapa waktu lalu dia telah mengharumkan nama sekolah di ajang nasional. Sayang, biaya membentur langkahnya untuk melanjutkan suksesnya.
Tanpa diketahui, Siska mendengar percakapan mereka dengan serius. Dalam hati dia tertawa kegirangan. Siska ingin cepat-cepat Rina di keluarkan dari sekolah favorit itu.
Rina keluar dari ruang BK dengan lesu. Di tangannya tergenggam kertas putih yang mengharuskan. Dia bingung. Dia tidak mungkin meminta pada orang tuanya. Dia tidak mau membebankan semua itu pada orang yang telah merawatnya. Dan pada keputusan puncak, dia berniat untuk tidak memberikan surat itu. Dia bertekad akan mencari uang sendiri.
Brukk... Arrghh...
"Maaf", dia telah menabrak seseorang. Surat di tangannya terjatuh. Tapi dia buru-buru memungut surat itu.
"Maaf", ulangnya.
"Iya, nggak papa kok", mata mereka bertatap. 'Amboi, cantik sekali gadis ini. Matanya bening dan teduh', batin seseorang yang ditabraknya.
"Maaf, aku harus ke kelas", Rina buru-buru berlalu dari cowok itu. Dia tidak mau tertinggal mata pelajaran yang disukainya. Sedangkan cowok itu hanya bisa memandang Rina tanpa kedip. Mulut cowok itu sedikit terbuka. Dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. 'Siapa nama gadis itu?', batinnya. Pesona gadis lugu itu telah membuatnya terpana. Namun, dia buru-buru pergi karena sebuah urusan telah menunggunya. Sepanjang jalan dia terus bertanya-tanya, 'gadis itu?'
***
Sampai beberapa hari ini pikiran tentang gadis itu tetap menjadi topik di malamnya. Gadis sederhana itu telah membuat Ansya bertanya-tanya.
"Siapa gadis itu?"
"Dia cantik sekali"
"Tatapan matanya membuat jantungku bergetar"
Ya. Setiap malam Ansya selalu mengeja kata-kata itu. Kadang dia tersenyum sendiri. Kadang dia menghayal. Dan kadang dia sempat tidak mengerti. Apakah gadis itu telah mengisi ruang kosong di hatinya?
"Tuhan, Aku mengaguminya dengan sederhana. Dan entah kenapa aku selalu memikirkannya. Siapa namanya? Dimana rumahnya? Dia kelas berapa? Tapi yang pasti hatiku slalu bergetar saat mengingatnya. Apakah ini yang dinamakan cinta?"
Dinding kamar tak memberikan jawaban. Hingga Ansya tertidur dan menikmati bunga ditidurnya. Dia bermimpi sedang mengejar-ngejar gadis itu.
***
Kriinngg~Kriinngg
Bel istirahat. Rina bersiap menjalankan aksinya. Dia berdoa. Kemudian dia mengeluarkan kue-kue yang akan dijualnya. Dia mengusir rasa malunya dan segera menjajakan dagangannya untuk melunasi tunggakan SPP-nya.
"Hayy teman-teman... Siapa yang mau beli kue?", serunya lantang. Teman-temannya mulai mengerubungi. Dengan lincah dia mempromosikan dagangannya. Ya. Dia berhasil.
"Rin, aku beli yang ini"
"Rin, aku mau yang itu"
"Ini Rin aku beli dua"
Sisanya kue itu ditawarkannya ke kelas lain. Dia berjalan dari ruang satu ke ruang yang lain. Semangatnya terus terbakar dalam langkah kakinya yang riang.
"Heyyy... Kamu!"
"Aku?" tunjuknya pada dirinya sendiri. Dia takut salah karena disitu banyak orang yang berlalu lalang.
"Iya, kamu!" seru Ansya dikejauhan sana. Rina pun mendekat, "Ada apa?", tanyanya.
"Kamu jualan kue?"
"Iya", jawab Rina. Satu poin itu telah membuat nilai plus untuk Rina di mata Ansya. Ansya salut dengan gadis yang ada di depannya.
"Ehhmm... Aku beli dua deh"
"Oke", Rina pun memasukkan kue-kue itu ke dalam plastik bening.
"Ehmm...
Maaf ya tapi aku nggak bisa", Rina menolak.
"Kenapa?"
"Ehmm...aku...", Rina kesulitan mencari alasan. Dia hanya bilang aku, aku dan aku saja. Sedangkan Ansya menunggu dengan tidak sabar.
"Cuma sebentar kok. Mau ya?" bujuk Ansya.
"Ya udah deh. Aku bisa", Rina pun menyerah. Dia gagal. Sepulang sekolah mereka pun jadi pergi ke toko buku. Siska yang mendapat informasi dari anak buahnya kalau mereka jalan berdua jadi marah. Api cemburu telah membakar logikanya. Dia benar-benar tidak berfikir logis, yang ada dipikirannya adalah bagaimana cara menghancurkan saingannya itu.
Sementara di toko buku...
"Menurutmu buku ini gimana?" Ansya memperlihatkan buku yang menurutnya menarik.
Rina membolak-balikkan halaman buku itu.
"Ini lemnya kurang kuat", komentar Rina.
"Bagaimana dengan yang ini?" Ansya menunjujukkan buku yang lain.
Rina memperhatikan buku itu. Membolak-balikkan halamannya dan berkomentar, "Bagus kok".
"Oke. Oh ya nama lengkap kamu siapa?" tanya Ansya.
"Arina Kusuma".
Ansya kaget. Arina Kusuma? Siswa yang beberapa minggu lalu mewakili provinsi DIY ke ajang olimpiade matematika nasional? Juga siswa yang bulan lalu mendapat penghargaan atas karya prosanya? Dia siswa yang berprestasi. Ternyata Arina Kusuma adalah Rina, seseorang yang kukagumi, seseorang yang istimewa di hati ini. Tuhan...
"Kenapa?"
"Ehmm...aku...", Rina kesulitan mencari alasan. Dia hanya bilang aku, aku dan aku saja. Sedangkan Ansya menunggu dengan tidak sabar.
"Cuma sebentar kok. Mau ya?" bujuk Ansya.
"Ya udah deh. Aku bisa", Rina pun menyerah. Dia gagal. Sepulang sekolah mereka pun jadi pergi ke toko buku. Siska yang mendapat informasi dari anak buahnya kalau mereka jalan berdua jadi marah. Api cemburu telah membakar logikanya. Dia benar-benar tidak berfikir logis, yang ada dipikirannya adalah bagaimana cara menghancurkan saingannya itu.
Sementara di toko buku...
"Menurutmu buku ini gimana?" Ansya memperlihatkan buku yang menurutnya menarik.
Rina membolak-balikkan halaman buku itu.
"Ini lemnya kurang kuat", komentar Rina.
"Bagaimana dengan yang ini?" Ansya menunjujukkan buku yang lain.
Rina memperhatikan buku itu. Membolak-balikkan halamannya dan berkomentar, "Bagus kok".
"Oke. Oh ya nama lengkap kamu siapa?" tanya Ansya.
"Arina Kusuma".
Ansya kaget. Arina Kusuma? Siswa yang beberapa minggu lalu mewakili provinsi DIY ke ajang olimpiade matematika nasional? Juga siswa yang bulan lalu mendapat penghargaan atas karya prosanya? Dia siswa yang berprestasi. Ternyata Arina Kusuma adalah Rina, seseorang yang kukagumi, seseorang yang istimewa di hati ini. Tuhan...
“Hey.
Kenapa bengong?” Tanya Rina heran dengan reaksi Ansya.
“Kamus
iswa yang cerdas Rin, aku bangga sama kamu”.
“Ah,
itu hanya sebuah keberuntungan saja.Aku nggak hebat kok”.
“Kamu
terlalu merendah Rin”.
Rina
hanya tersenyum.Ansya semakin tergila-gila dengan kebaikan, kerendahan serta ketulusan
hati Rina. Ansya baru kali ini menjumpai gadis yang berbeda. Pesona Rina terus bermekaran
di hati Ansya. Ansya tidak bias lagi berkata, lidahnya mendadak kelu. Dan
jantungnya berdetak semakin cepat dan semakin cepat. Ansya takut perasaanya terbaca
oleh Rina. Hingga Ansya menutupnya dengan menenggelamkan diri kedunia buku di
depannya.
***
Suasana ketika istirahat memang selalu
ramai. Rina dengan senyumnya yang mengembang dan sapanya yang ramah terlihat sedang
menjajakan kue-kuenya. Namun, tiba-tiba Siska menyenggolnya hinggaRina terjatuh
dan kue-kuenya itu berserakan.
“Uppzzzt…sorry,
nggaks engaja”, kata Siska dengan nada
suara yang dibuat-buat. Rina memunguti kue-kue itu tanpa bersuara. Dia tidak mau
membuat keributan dan dia tahu statusnya sebagai siswa. Dia juga tahu aturan
yang ada.
“Sebaiknya
kalau nggak mampu, nggak usah sekolah deh! Cuihhh… dengan cara jualan gini loe nggak
akan pernah bias bayar SPP loe yang nunggak itu!”.
“Diam!”
akhirnya Rina bersuara.
“Mau
apa loe? Bilang sama orang tua loe yang miskin dan gembel itu supaya berhenti nyekolahin
loe. Loe tuh nggak pantes sekolah di sini!”.
“Jaga
ya mulut loe! Loe boleh menghina gue seenak loe, tapi loe jangan pernah sekali-kali
menghina orang tua gue!” amarah Rina terpancing keluar. Dia tidak terima. Baginya
orang tua itu dihormati bukan dihina!
“Gue
memang miskin tapi gue bukan gembel!”
Keributan
itu memancing kerumunan. Dan tanpa Siska ketahui, Ansya berdiri menyaksikan pertempuran
itu. Dia geram. Wajahnya merah marah. Tangannya mengepal. Ingin rasanya dia menonjok
Siska.Tapi dia ingat dia tidak boleh menyakiti wanita.Dia pun menerobos kerumunan
itu.
“Ayo
Rin, lebih baik kita pergi dari sini. Dan loe Siska! Jangan pernah loe menghina
orang lain! Loe tuh harusnya ngaca, kekayaan yang loe banggakan itu bukan milik
loe!”
Siska
tertegun. Perlahan air matanya menetes, “Benarkah
aku anak manja? Benarkah aku slalu pamer kekayaan? Apakah aku orang yang
kejam?Apakah aku tidak pernah peduli dengan orang lain? Aku sombong?arrggghhh…“
Sementara itu
Ansya membawa Rina ke tempat yang aman. Rina berusaha untuk tidak menangis.
Pelupuk mata itu mendanau. Namun lapisan tekad di hatinya menahan
luncuran air mata itu. Dia kuat. Dan dia berhasil.
"Ansya, kalau boleh tahu kenapa kamu slalu baik sama aku?" tanyanya. Ansya diam. Pertanyaan sederhana yang sulit untuk dijawab. Lidahnya tiba-tiba kelu. Debar jantungnya bergejolak tak menentu. Ansya belum siap, tapi Rina telah menggedor pintu di hatinya.
"Aku...a..ku...aku sayang kamu Rin," katanya terbata-bata. Rina kaget. Apa yang istimewa darinya? Bahkan dia merasa sangat biasa.
"Apa yang membuatmu mencintaiku? Aku ini miskin, Ansya!"
"Aku tidak peduli kamu miskin atau kaya. Yang aku tahu hanya kamu yang ada dihatiku. Aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu."
Kini giliran Rina yang terdiam. Jantungnya dirasa berdetak semakin cepat. Pikirannya berkecamuk, antara percaya dan tidak percaya. Tapi kalau boleh jujur Rina sangat mengagumi Ansya jauh sebelum dia dekat dengan Ansya, yaitu pertama kali saat pelaksanaan MOS (Masa Orientasi Siswa). Tapi dia juga tahu, cinta sebenarnya adalah cinta untuk Yang Maha Pemilik Hati. Dia dilema. Tapi tatapan mata Ansya membuatnya percaya.
"Apakah kamu temukan kebohongan dalam mataku?" tanya Ansya.
Rina menggeleng. "Lalu maukah kamu menjadi kekasihku?"
"Maaf Ansya, kalau itu aku tidak bisa. Aku ingin fokus dengan sekolahku dulu. Lagian banyak cara untuk menyalurkan cinta. Aku tidak mau fitrah suci cinta kita ternoda oleh pacaran kita", Rina tahu batas-batas agama. Agama telah membentenginya dengan kuat dan dia tidak mau terperosot dalam jurang kenistaan.
Ansya kembali tertegun. Gadis di depannya membuka mata hatinya. Dia malu. Dia malu pada penjelasan bijak Rina. Selama ini dia hanya tahu banyak orang yang mengumbar cinta, dan dia ingin merasakannya. Tapi dia salah. Ketulusan hati Rina telah membawanya pada hakikat cinta yang sesungguhnya.
"Ansya, aku tidak mau setelah ini kita berjauhan. Aku ingin menjadi sahabat kamu sampai waktu merestui cinta kita", pinta Rina. Ansya menatap Rina sekali lagi. 'Rin, kamu gadis yang baik'.
"Maafkan aku Rin, aku..."
"Sudah, kita tidak boleh menyalahkan cinta karena cinta memang kodrat dari-Nya".
"Kamu benar Rin. Dan aku akan menjaga langkahku agar selalu berada di jalan yang benar. Yeah, kita akan bersahabat!"
Rina tersenyum. Ansya membalas senyuman itu. Dihari itu juga mereka memaknai arti cinta sejatinya. Yeah. Cinta pada Sang Maha Kuasa.
***
Uang hasil penjualan kue itu dimanfaatkan Rina dengan baik. Tabungannya bertambah. Hingga akhirnya setelah dirasa cukup dia berniat melunasi tunggakan SPP-nya.
"Permisi bu, saya ingin melunasi SPP saya meski belum semuanya. Setidaknya saya telah membayar setengahnya dan saya tidak di keluarkan dari sekolah ini", ucap Rina pelan. Dia takut ucapannya ada yang salah. Sedangkan Bu Rahma hanya tersenyum.
"SPP kamu sudah lunas Rina".
"Tapi saya belum membayarnya Bu".
"Ada orang baik yang membayarkan SPP kamu".
"Benar bu?" mata Rina berkaca-kaca. Siapa orang baik itu? 'Aku berhutang padamu', batin Rina.
"Iya".
"Terimakasih Ya Allah", Rina mengucap syukur. Sedang di balik dinding sana berdirilah Siska. Dia sudah berubah. Dia tidak lagi sombong. Dia menyesali perbuatannya. Dan dia ingin menjadi orang baik.
"Rin, pulang yuk!" seru Ansya tiba-tiba.
"Yuk", jawab Rina.
"Mari, Bu. Permisi", kata mereka berdua pada Bu Rahma. Bu Rahma menanggapinya dengan tersenyum.
'Kamu pantas mendapatkan Ansya, Rin. Kamu orang yang baik. Dan Ansya juga orang yang baik. Semoga kalian langgeng ya? Aku tidak akan mengganggu kalian lagi', batin Siska yang memandang mereka berdua. Dia pun pergi. Dia tidak tahu bahwa mereka tidaklah pacaran. Tapi mereka sahabatan hingga cinta mereka kelak akan bersanding di pelaminan.
"Ansya, kalau boleh tahu kenapa kamu slalu baik sama aku?" tanyanya. Ansya diam. Pertanyaan sederhana yang sulit untuk dijawab. Lidahnya tiba-tiba kelu. Debar jantungnya bergejolak tak menentu. Ansya belum siap, tapi Rina telah menggedor pintu di hatinya.
"Aku...a..ku...aku sayang kamu Rin," katanya terbata-bata. Rina kaget. Apa yang istimewa darinya? Bahkan dia merasa sangat biasa.
"Apa yang membuatmu mencintaiku? Aku ini miskin, Ansya!"
"Aku tidak peduli kamu miskin atau kaya. Yang aku tahu hanya kamu yang ada dihatiku. Aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu."
Kini giliran Rina yang terdiam. Jantungnya dirasa berdetak semakin cepat. Pikirannya berkecamuk, antara percaya dan tidak percaya. Tapi kalau boleh jujur Rina sangat mengagumi Ansya jauh sebelum dia dekat dengan Ansya, yaitu pertama kali saat pelaksanaan MOS (Masa Orientasi Siswa). Tapi dia juga tahu, cinta sebenarnya adalah cinta untuk Yang Maha Pemilik Hati. Dia dilema. Tapi tatapan mata Ansya membuatnya percaya.
"Apakah kamu temukan kebohongan dalam mataku?" tanya Ansya.
Rina menggeleng. "Lalu maukah kamu menjadi kekasihku?"
"Maaf Ansya, kalau itu aku tidak bisa. Aku ingin fokus dengan sekolahku dulu. Lagian banyak cara untuk menyalurkan cinta. Aku tidak mau fitrah suci cinta kita ternoda oleh pacaran kita", Rina tahu batas-batas agama. Agama telah membentenginya dengan kuat dan dia tidak mau terperosot dalam jurang kenistaan.
Ansya kembali tertegun. Gadis di depannya membuka mata hatinya. Dia malu. Dia malu pada penjelasan bijak Rina. Selama ini dia hanya tahu banyak orang yang mengumbar cinta, dan dia ingin merasakannya. Tapi dia salah. Ketulusan hati Rina telah membawanya pada hakikat cinta yang sesungguhnya.
"Ansya, aku tidak mau setelah ini kita berjauhan. Aku ingin menjadi sahabat kamu sampai waktu merestui cinta kita", pinta Rina. Ansya menatap Rina sekali lagi. 'Rin, kamu gadis yang baik'.
"Maafkan aku Rin, aku..."
"Sudah, kita tidak boleh menyalahkan cinta karena cinta memang kodrat dari-Nya".
"Kamu benar Rin. Dan aku akan menjaga langkahku agar selalu berada di jalan yang benar. Yeah, kita akan bersahabat!"
Rina tersenyum. Ansya membalas senyuman itu. Dihari itu juga mereka memaknai arti cinta sejatinya. Yeah. Cinta pada Sang Maha Kuasa.
***
Uang hasil penjualan kue itu dimanfaatkan Rina dengan baik. Tabungannya bertambah. Hingga akhirnya setelah dirasa cukup dia berniat melunasi tunggakan SPP-nya.
"Permisi bu, saya ingin melunasi SPP saya meski belum semuanya. Setidaknya saya telah membayar setengahnya dan saya tidak di keluarkan dari sekolah ini", ucap Rina pelan. Dia takut ucapannya ada yang salah. Sedangkan Bu Rahma hanya tersenyum.
"SPP kamu sudah lunas Rina".
"Tapi saya belum membayarnya Bu".
"Ada orang baik yang membayarkan SPP kamu".
"Benar bu?" mata Rina berkaca-kaca. Siapa orang baik itu? 'Aku berhutang padamu', batin Rina.
"Iya".
"Terimakasih Ya Allah", Rina mengucap syukur. Sedang di balik dinding sana berdirilah Siska. Dia sudah berubah. Dia tidak lagi sombong. Dia menyesali perbuatannya. Dan dia ingin menjadi orang baik.
"Rin, pulang yuk!" seru Ansya tiba-tiba.
"Yuk", jawab Rina.
"Mari, Bu. Permisi", kata mereka berdua pada Bu Rahma. Bu Rahma menanggapinya dengan tersenyum.
'Kamu pantas mendapatkan Ansya, Rin. Kamu orang yang baik. Dan Ansya juga orang yang baik. Semoga kalian langgeng ya? Aku tidak akan mengganggu kalian lagi', batin Siska yang memandang mereka berdua. Dia pun pergi. Dia tidak tahu bahwa mereka tidaklah pacaran. Tapi mereka sahabatan hingga cinta mereka kelak akan bersanding di pelaminan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar