Selasa, 21 Oktober 2014

cerpen picisan gan :)

Cinta Dalam Hitam

            Aku tahu bahwa hari esok akan datang dengan beribu kisah yang berbeda dengan hari ini, hari kemarin, dan hari-hari yang telah kulalui. Aku mengerti bahwa Tuhan berdiri dan menjagaku setiap saat dan waktu. Aku tahu bahwa hidup ini singkat. Namun aku lemah tanpa kekuatan untuk menghayati hidupku yang sesungguhnya. Andai aku seorang peramal, pasti aku bisa menerawang masa depan dengan bola-bola kaca maya. Dan andai saja aku dianugerahi tongkat sihir, pasti aku sudah terbang menerobos langit dan berkata “ Inilah aku”. Lenyap, itu hanyalah sebuah khayalan mustahil seorang hamba kepada Tuhannya. Aku tidak mau berfikir, kuhilangkan hantu bayangan yang memenuhi ruang pikirku. Aku enggan untuk menebak-nebak masa yang penuh tanda tanya.
“Hey!”, seru Rehan membuyarkan lamunanku. Dia sahabatku sejak kecil. Aku suka dengan kepribadian yang ada pada dirinya. Bukan hanya itu, dia malaikat dalam gelapku. Di pelukis canda dan tawa di hariku.
“Rehan?”, kataku sedikit tergagap.
“Setan yang jahat pergilah dari pikiran Rensa! Pergilah! Pergilah! Hohoho....”, katanya dengan suara menirukan seorang dukun. Mulutku tidak tahan untuk selalu bungkam. Tawaku pecah. Tingkahnya membuatku geli.
“Rehan! Rehan! Berhentilah bertingkah konyol!”.
“Oke. Untuk MOS besok pagi kita disuruh membuat surat benci”, kataya singkat dengan senyuman kecil yang tersungging di bibirya.
Ah kakak-kakak OSIS memang gila dengn ide-ide yang tidak pernah terlintas di benakku’, protesku dalam hati. Sudah menjadi resiko bagi siswa baru untuk menerima dengan lapang dada atas insruksi-instruksi dari OSIS meskipun kehendak harus berlawanan dengan kata hati.
“ Untuk siapa?”
“Seorang yang kita benci”, katanya dengan ekspresi yang sulit kujabarkan. Tatapannya aneh dan misterius. Dia memandangku sejenak, setelah itu memunggungiku dan berbalik pergi tanpa ada senyum menghiasi wajahnya. Semakin lama semakin jauh dan akhirnya menghilang dari pandangan mataku. Berbeda! Mungkin itu yang sedang kurasakan. Aku menangkap pertanda buruk tentang sikap Rehan yang dingin dan tidak seperti biasanya. Entahlah, aku tidak mau terbuai dalam persepsi hitam terhadapnya.
***
           Lembaran demi lembaran tersingkap dan tertulis sejarah kehidupan yang tidak pernah terhenti. Memulai cerita dari masa kemasa yang akan diperdebatkan di masa yang akan datang. Menoreh kanvas biru yang akan mengisi catatan hari-hari yang telah kulalui. Hidup memang misteri, tidak ada yang bisa memilih untuk siapa dia dilahirkan dan di mana dia akan menemui ajal. Jika boleh memilih, aku memilih untuk tidak di lahirkan. Memilih untuk tidak mengecap hitam putihnya dunia yang kejam. Oh Tuhan? Bolehkah aku mengenal-Mu? Masihkah aku percaya dengan mukjizat-Mu? Sudahlah, aku ingin berhenti memprotes takdir Tuhan yang telah di gariskan untuk hidupku. Kuhentikan semua khayalanku dan bergegas menuju gudang ilmu masa depan. Tanpa sadar waktu berjalan lebih cepat dan memaksaku untuk berlari menuju kelas.
“Selamat pagi adik-adik”, sapa Kak Radit ramah. Dia adalah salah satu anggota OSIS yang paling kusukai. Bukan tanpa alasan aku menyukai Kak Radit. Aku suka dengan pembawaannya yang selalu tenang dan murah senyum. Dia adalah pengganti kakakku yang sudah bertemu dengan Tuhan. Arrggghh... kecelakaan itu telah merenggut nyawa orang-orang yang kusanyangi, termasuk ayah dan ibuku.
“Pagi kak”, jawabku dan teman-temanku kompak.
“Baiklah adik-adik, sekarang keluarkan surat yang kakak suruh kemarin dan berikan kepada orang yang kalian benci!”, Kak Radit memberikan komando kepada kita semua. Dalam sekejap kelasku menjadi seperti mall yang sedang mengobral great sale. Kaki-kaki berseliweran kesana kemari tanpa ada yang mengendalikan. Suara-suara seperti alunan musik dengan instrumen yang amburadul. Semuanya bercampur dan menghasilkan konser dadakan yang semrawut, pikirku. Aku sendiri masih bingung untuk memberikan surat ini siapa. Jujur, tidak pernah terlintas di benakkku untuk membenci mereka. Aku sungguh sangat mencintai dan menyayangi mereka semua. Tapi apa yang harus kukatakan ketika Rehan berjalan menghampiriku dan memberikan surat benci itu kepadaku? Hatiku hancur. Tidak bisa kubayangkan semua ini adalah kenyataan. Rehan membenciku? Apa salahku padanya? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi ruang pikirku. Hariku berubah menjadi kelabu. Rehan memberikan surat itu dan hanya mengucapkan ‘maaf’ lalu pergi tanpa memandang mataku yang penuh air mata yang mendanau? Aku mungkin tahu apa yang Rehan rasakan. Namun, aku tidak mungkin bisa membaca pikirannya. Biarlah ini menjadi rahasia Tuhan. Aku tidak mau tahu sekarang. Perlahan kubuka surat itu. Kukumpulkan seribu keberanian sebelum membaca dan mengetahui isi kalimat yang berderet rapi dalam suratnya. Aku mengambil nafas panjang dan perlahan mataku dengan lihai menyusuri setiap kalimat dalam suratnya.
“Ternyata bukan surat, melainkan kata hati yang tertuang dalam bentuk puisi”, kataku lirih.
Selamat pagi! Sapaan yang kerap kali kudengar
Ingin kubalas
Sayang, suara itu tercekat dan hilang
Aku melangkah! Aku berlari! Hingga akhirnya aku harus rela mati
Aku terkapar tanpa nada indah dalam melodi
Aku? Tak perlu kau pedulikan aku!
Tak perlu kau bersusah-susah dengan derai air matamu!
Cukup aku dan akulah yang tahu hidupku!
Namun sayang, cinta memaksaku bungkam
Cinta membunuhku secara perlahan
Aku sendiri dan melangkah pergi
Sudah! Cukup sampai di sini kau menyelami palung hatiku yang rapuh
Pergi!!!
Kebencian ini telah terpupuk sedemikian lama
Hingga akhirnya bermetamorfosa menjadi dendam
Mungkin kau kaget ketika membaca surat ini
Tapi inilah kenyataan yang tersembunyi dalam senyumku
Pergilah dan jangan pernah kau mencoba untuk menyentuh jiwaku lagi
                                                                                    Rehan Roy Prasetya
Setelah membaca surat itu tubuhku langsung lemas. Air mataku mengalir deras dan membuat anak sungai di wajahku. Beruntung teman-temanku sibuk dengan urusannya masing-masing, sehingga aku bisa melepaskan diri dan berlari mencari Rehan. Entah kekuatan apa yang merasukiku saat ini, aku tidak tahu. Setiap kelas kumasuki namun, tidak kujumpai dirinya. Dia menghilang. Kucoba bertanya pada Indra yang sedang duduk di taman dan memberi makan ikan koi dengan roti yang dibawanya.
“Hay!”, sapaku. Sebisa mungkin aku harus menyembunyikan perasaanku. Aku tidak mau dia bercerita dan mengadukan diriku pada Rehan.
“Hay Rensa. Ada apa? Kok tumben sendirian? Rehan kemana?”, tanyanya masih asyik dengan kegiatannya memberi makan ikan.
Aku sedikit ragu untuk menjawab. Namun, keinginan ini begitu besar sehingga mampu untuk menumbangkan semua keraguan yang ada pada diriku.
“Kamu tahu Rehan ada di mana?”, tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
Indra berfikir sejenak, lalu menggelengkan kepalanya “Tidak”.
“Apa dia tadi sempat bertemu denganmu?”, tanyaku menyelidik.
“Tidak”, jawabnya aneh.
“Ya sudah. Thanks”. Kataku sambil berlari dan menjauh darinya. Aku malas untuk berlama-lama dan aku juga malas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan di lontarkannya untukku. Aku pergi ke perpustakaan dan menyendiri di sana. Teringat di benakku masa silam yang begitu indah dan penuh arti. Siapa yang sanggup menunjukkan awal pada sebuah kenangan? Tidak ada. Semuanya berlalu dengan air mata. Bila ada yang bisa kurasakan, disini dalam garis yang membentang lara. Terluka dan tampak rapuh. Arrgghh... aku seakan terlihat gila. Hilanglah dan berhenti meyiksaku. Aku ingin terbebas dari luka yang kurasakan saat ini.
***
          Hari beranjak sore. Langit telah menanggalkan jubah birunya dan mulai merajut warna jingga. Matahari mulai merangkak ke ufuk barat. Burung-burung berbaris menuju sarangnya. Lampu-lampu kota satu persatu menyala menggatikan sang raja siang. Keindahan senja kini tergeser oleh pesona ratu malam yang anggun. Aku dengan langkah pasti menuju ke rumah Rehan. Aku berharap bintang itu kembali bersinar. Kini aku telah sampai di rumah bercat birunya. Kumasuki halamannya yang menyambut kedatanganku dengan harum semerbak bunga yang bermekaran.
“Assalamu`alaikum”, kataku pasti. Tidak lama kemudian kulihat seseorang dari balik pintu yang menyambut kedatanganku dengan hangat.
“Wa`alaikumsalam. Oh ada Rensa, silakan masuk”, kata Tante Rina.
“Makasih tante. Hm, Rehan ada tante?” tanyaku setelah mengobrol sebentar dengan Tante Rina. Sekedar basa basi agar Tante Rina tidak curiga dengan kedatanganku.
“Ada di halaman belakang tuh. Mungkin lagi belajar, kamu kesana saja”.
“Ya. Permisi tante”, kataku sambil berlalu dari hadapan Tante Rina. Dia membalas ucapanku dengan senyuman khasnya. Langkahku sedikit gemetar setelah kulihat Rehan yang sedang duduk dan matanya terlihat sedang menerawang jauh ke depan. Rupanya kehadiranku tidak disadari olehnya. Akupun dengan hati-hati mencoba menyapa dan tersenyum kepadanya. Namun, bukan seperti apa yang kuinginkan. Harapanku musnah, dia malah menatapku dingin. Satu menit, dua menit, tiga menit... berlalu tanpa ada yang memulai percakapan. Aku tidak tahan dengan kebisuan ini. Aku tidak tahan dengan suasana yang begitu hambar dan menyesakkan ini.
“Surat yang kamu kasih itu tidak benarkan?”, tanyaku sedikit emosi.
“Itu benar”, katanya singkat namun, menyesakkan dadaku.
“Apa salahku?”.
“Karena aku sudah bosan dengan tingkah kekanakanmu”, katanya sambil berdiri dan menikam padanganku. Aku takut dengan kemarahannya.
“Apa?”, kali ini benar-benar emosi. Aku tidak mampu membendung air mataku. Aku tidak mampu untuk menahan amarahku. Suasana ini semakin panas dan bertambah panas.
“Iya, kamu itu egois dan tidak pernah peduli dengan orang lain!”.
“Tapi kenapa kamu baru bilang sekarang? Dan kenapa selama ini kamu mau berteman dengan orang yang egois seperti diriku?”.
“Karena aku ingin melihatmu menangis dan merasakan kekecewaan yang dalam Rensa!”, katanya dengan volume tinggi.
“Terus kamu ingin melihat kehancuranku dengan semua ini?”.
“Iya”, katanya enteng.
“Aku tidak percaya kamu tega menghianati persahabatan kita Rehan? “
Pertanyaanku menggantung, dia tidak bergeming.  Kulanjutkan nafsuku untuk memarahinya.
“Kamu jahat. Aku benci dengan sandiwaramu. Dan sekarang, silakan kamu tertawa atas kebodohanku karena aku telah masuk ke dalam perangkap licikmu!” kataku mengakhiri pertengkaran ini dan berlari pergi. Aku tidak peduli dengan Tante Rina yang berusaha bertanya tentang apa yang telah terjadi. Kuterobos hujan yang lebat bersama air mata yang bercucuran di pipiku. Aku beku oleh cerita yang telah berlalu. Dosakah aku sehingga aku harus merasakan sakit ini? Ingin rasanya aku menjemput malaikat yang menyongsong hari baruku. Tapi apa? Dinginnya malam menjerit rona kehidupan. Aku merasakannya tapi aku tidak berprasaan. Langkah kaki ini terseok-seok dan terhias seni kehidupan yang penuh kemunafikan.
***
          Simfoni pagi menyenandungkan putihnya kehidupan. Ketika cinta ibarat nafas yang  berhembus, ingin rasanya aku menyelami memori masa lalu. Ingin rasanya hatiku memeluk kenangan yang telah tercipta. Cinta ini teramat pahit untuk dipertanyakan. Aku merenung, menatap lembut kegelapan hatiku. Berhambus lesu menghancurkan anganku. Bulan tidak lagi bersinar, bintang tidak lagi berkuasa dan matahari telah gerhana. Sudah satu mimggu lebih setelah pertengkaran itu terjadi. Aku tidak mau tahu semua hal yang berhubungan dengan Rehan. Kebencian ini telah sampai pada puncaknya. Ku singkirkan semua hal yang akan memunculkan ingatanku padanya. Namun, apa dayaku untuk menolak? Hati ini luluh ketika mendengar kabar bahwa Rehan sedang berada di rumah sakit dan akan menjalani operasi karena tumor otak yang di deritanya. Aku sama sekali tidak tahu bahwa Rehan menderita penyakit ganas dan amat mematikan itu. Aku mengutuk diriku sendiri. Aku menyesal, aku benci dengan diriku yang tidak peka dengan kondisinya. Apalagi beberapa waktu lalu aku sempat membencinya. Cukup sampai di sini, aku segera menuju rumah sakit dan mendapati Rehan yang terbaring lemah di atas ranjang dengan berbagai macam peralatan yang melekat di tubuhnya. Aku menangis. Lama kupandangi wajah Rehan yang teduh, wajah itu mengingatanku pada senyumnya, pada tawanya, dan pada gurauannya di saat aku terpuruk. Semua tentang Rehan terbayang dan berseliweran  dipikiranku. Tapi terlambat, semua tinggal kenangan ketika alat pendeteksi jantung itu berhenti berjalan. Dia telah tiada. Dia telah berpulang menghadap Rabb-nya. Dia telah meninggalkan luka di hidupnya yang singkat. Dia telah menapaki alam yang berbeda. Tangisku semakin menjadi-jadi ketika aku mendengar penjelasan dari Tante Rina, bahwa Rehan lebih baik melihatku membencinya daripada aku harus bersedih melihat dirinya menderita penyakit itu. Dan dia ternyata sangat menyayangiku, semua alasan itu sudah terlambat kuketahui. Aku menyesal telah mengatainya jahat.
“Rehan maafkan aku”, rintihku dalam hati.
Aku hampir saja pingsan, beruntung ada Tante Rina dan Om Roy yang menguatkanku. Serasa separuh jiwaku telah melayang bersamanya. Aku benar-benar kehilangan malaikat hidupku. Hingga akhirnya harus kukuatkan diriku untuk mengantarkan jazadnya ke peristirahatannya yang terakhir. Air mataku masih saja enggan berhenti hingga pemakaman itu usai. Satu persatu orang-orang meninggalkan makam itu. Disana tinggallah aku, tante Rina, dan Om Roy yang masih bertahan. Aku merintih. Aku mendendam perih. Sebuah luka hampir saja meringkus jiwaku dan melahap mimpi-mimpiku. Dunia ketika jalan terasa gelap dan buntu. Mataku begitu pedih. Aku merasa hidupku, mimpiku, dan jiwaku lamat-lamat tenggelam dalam pusara itu. Akupun akhirnya hanya bisa bersimpuh dan memunajatkan doa kepada-Nya. Aku terpaksa melewati hari dalam jeri. Aku seperti didesak ke dalam palung bumi yang paling gulita. Aku sendiri dan sepi. Air mata berderai-derai di pelupukku saat ini. Gejolak batinku teriksa oleh penyesalanku.
“Aku selalu mengingatmu Rehan dan semoga Tuhan selalu menyayangimu”, kata yang terakhir keluar dari mulutku sebelum meninggalkan pemakaman itu.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar