Cinta Dalam Hitam
Aku tahu bahwa hari esok akan datang
dengan beribu kisah yang berbeda dengan hari ini, hari kemarin, dan hari-hari
yang telah kulalui. Aku mengerti bahwa Tuhan berdiri dan menjagaku setiap saat
dan waktu. Aku tahu bahwa hidup ini singkat. Namun aku lemah tanpa kekuatan
untuk menghayati hidupku yang sesungguhnya. Andai aku seorang peramal, pasti
aku bisa menerawang masa depan dengan bola-bola kaca maya. Dan andai saja aku
dianugerahi tongkat sihir, pasti aku sudah terbang menerobos langit dan berkata
“ Inilah aku”. Lenyap, itu hanyalah sebuah khayalan mustahil seorang hamba
kepada Tuhannya. Aku tidak mau berfikir, kuhilangkan hantu bayangan yang memenuhi
ruang pikirku. Aku enggan untuk menebak-nebak masa yang penuh tanda tanya.
“Hey!”,
seru Rehan membuyarkan lamunanku. Dia sahabatku sejak kecil. Aku suka dengan
kepribadian yang ada pada dirinya. Bukan hanya itu, dia malaikat dalam gelapku.
Di pelukis canda dan tawa di hariku.
“Rehan?”,
kataku sedikit tergagap.
“Setan
yang jahat pergilah dari pikiran Rensa! Pergilah! Pergilah! Hohoho....”,
katanya dengan suara menirukan seorang dukun. Mulutku tidak tahan untuk selalu
bungkam. Tawaku pecah. Tingkahnya membuatku geli.
“Rehan!
Rehan! Berhentilah bertingkah konyol!”.
“Oke.
Untuk MOS besok pagi kita disuruh membuat surat benci”, kataya singkat dengan
senyuman kecil yang tersungging di bibirya.
‘Ah kakak-kakak OSIS memang gila dengn
ide-ide yang tidak pernah terlintas di benakku’, protesku dalam hati. Sudah
menjadi resiko bagi siswa baru untuk menerima dengan lapang dada atas
insruksi-instruksi dari OSIS meskipun kehendak harus berlawanan dengan kata
hati.
“
Untuk siapa?”
“Seorang
yang kita benci”, katanya dengan ekspresi yang sulit kujabarkan. Tatapannya
aneh dan misterius. Dia memandangku sejenak, setelah itu memunggungiku dan
berbalik pergi tanpa ada senyum menghiasi wajahnya. Semakin lama semakin jauh
dan akhirnya menghilang dari pandangan mataku. Berbeda! Mungkin itu yang sedang
kurasakan. Aku menangkap pertanda buruk tentang sikap Rehan yang dingin dan
tidak seperti biasanya. Entahlah, aku tidak mau terbuai dalam persepsi hitam
terhadapnya.
***
Lembaran demi lembaran tersingkap
dan tertulis sejarah kehidupan yang tidak pernah terhenti. Memulai cerita dari
masa kemasa yang akan diperdebatkan di masa yang akan datang. Menoreh kanvas
biru yang akan mengisi catatan hari-hari yang telah kulalui. Hidup memang
misteri, tidak ada yang bisa memilih untuk siapa dia dilahirkan dan di mana dia
akan menemui ajal. Jika boleh memilih, aku memilih untuk tidak di lahirkan.
Memilih untuk tidak mengecap hitam putihnya dunia yang kejam. Oh Tuhan?
Bolehkah aku mengenal-Mu? Masihkah aku percaya dengan mukjizat-Mu? Sudahlah,
aku ingin berhenti memprotes takdir Tuhan yang telah di gariskan untuk hidupku.
Kuhentikan semua khayalanku dan bergegas menuju gudang ilmu masa depan. Tanpa
sadar waktu berjalan lebih cepat dan memaksaku untuk berlari menuju kelas.
“Selamat
pagi adik-adik”, sapa Kak Radit ramah. Dia adalah salah satu anggota OSIS yang
paling kusukai. Bukan tanpa alasan aku menyukai Kak Radit. Aku suka dengan
pembawaannya yang selalu tenang dan murah senyum. Dia adalah pengganti kakakku
yang sudah bertemu dengan Tuhan. Arrggghh... kecelakaan itu telah merenggut
nyawa orang-orang yang kusanyangi, termasuk ayah dan ibuku.
“Pagi
kak”, jawabku dan teman-temanku kompak.
“Baiklah
adik-adik, sekarang keluarkan surat yang kakak suruh kemarin dan berikan kepada
orang yang kalian benci!”, Kak Radit memberikan komando kepada kita semua.
Dalam sekejap kelasku menjadi seperti mall yang sedang mengobral great sale. Kaki-kaki berseliweran
kesana kemari tanpa ada yang mengendalikan. Suara-suara seperti alunan musik dengan
instrumen yang amburadul. Semuanya bercampur dan menghasilkan konser dadakan
yang semrawut, pikirku. Aku sendiri masih bingung untuk memberikan surat ini
siapa. Jujur, tidak pernah terlintas di benakkku untuk membenci mereka. Aku
sungguh sangat mencintai dan menyayangi mereka semua. Tapi apa yang harus
kukatakan ketika Rehan berjalan menghampiriku dan memberikan surat benci itu
kepadaku? Hatiku hancur. Tidak bisa kubayangkan semua ini adalah kenyataan.
Rehan membenciku? Apa salahku padanya? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi ruang
pikirku. Hariku berubah menjadi kelabu. Rehan memberikan surat itu dan hanya
mengucapkan ‘maaf’ lalu pergi tanpa
memandang mataku yang penuh air mata yang mendanau? Aku mungkin tahu apa yang
Rehan rasakan. Namun, aku tidak mungkin bisa membaca pikirannya. Biarlah ini
menjadi rahasia Tuhan. Aku tidak mau tahu sekarang. Perlahan kubuka surat itu.
Kukumpulkan seribu keberanian sebelum membaca dan mengetahui isi kalimat yang
berderet rapi dalam suratnya. Aku mengambil nafas panjang dan perlahan mataku
dengan lihai menyusuri setiap kalimat dalam suratnya.
“Ternyata
bukan surat, melainkan kata hati yang tertuang dalam bentuk puisi”, kataku
lirih.
Selamat pagi! Sapaan yang kerap kali kudengar
Ingin kubalas
Sayang, suara itu tercekat dan hilang
Aku melangkah! Aku berlari! Hingga akhirnya aku harus rela
mati
Aku terkapar tanpa nada indah dalam melodi
Aku? Tak perlu kau pedulikan aku!
Tak perlu kau bersusah-susah dengan derai air matamu!
Cukup aku dan akulah yang tahu hidupku!
Namun sayang, cinta memaksaku bungkam
Cinta membunuhku secara perlahan
Aku sendiri dan melangkah pergi
Sudah! Cukup sampai di sini kau menyelami palung hatiku yang
rapuh
Pergi!!!
Kebencian ini telah terpupuk sedemikian lama
Hingga akhirnya bermetamorfosa menjadi dendam
Mungkin kau kaget ketika membaca surat ini
Tapi inilah kenyataan yang tersembunyi dalam senyumku
Pergilah dan jangan pernah kau mencoba untuk menyentuh
jiwaku lagi
Rehan
Roy Prasetya
Setelah
membaca surat itu tubuhku langsung lemas. Air mataku mengalir deras dan membuat
anak sungai di wajahku. Beruntung teman-temanku sibuk dengan urusannya masing-masing,
sehingga aku bisa melepaskan diri dan berlari mencari Rehan. Entah kekuatan apa
yang merasukiku saat ini, aku tidak tahu. Setiap kelas kumasuki namun, tidak
kujumpai dirinya. Dia menghilang. Kucoba bertanya pada Indra yang sedang duduk
di taman dan memberi makan ikan koi dengan roti yang dibawanya.
“Hay!”,
sapaku. Sebisa mungkin aku harus menyembunyikan perasaanku. Aku tidak mau dia
bercerita dan mengadukan diriku pada Rehan.
“Hay
Rensa. Ada apa? Kok tumben sendirian? Rehan kemana?”, tanyanya masih asyik
dengan kegiatannya memberi makan ikan.
Aku
sedikit ragu untuk menjawab. Namun, keinginan ini begitu besar sehingga mampu
untuk menumbangkan semua keraguan yang ada pada diriku.
“Kamu
tahu Rehan ada di mana?”, tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
Indra
berfikir sejenak, lalu menggelengkan kepalanya “Tidak”.
“Apa
dia tadi sempat bertemu denganmu?”, tanyaku menyelidik.
“Tidak”,
jawabnya aneh.
“Ya
sudah. Thanks”. Kataku sambil berlari dan menjauh darinya. Aku malas untuk
berlama-lama dan aku juga malas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
mungkin akan di lontarkannya untukku. Aku pergi ke perpustakaan dan menyendiri
di sana. Teringat di benakku masa silam yang begitu indah dan penuh arti. Siapa
yang sanggup menunjukkan awal pada sebuah kenangan? Tidak ada. Semuanya berlalu
dengan air mata. Bila ada yang bisa kurasakan, disini dalam garis yang
membentang lara. Terluka dan tampak rapuh. Arrgghh... aku seakan terlihat gila.
Hilanglah dan berhenti meyiksaku. Aku ingin terbebas dari luka yang kurasakan
saat ini.
***
Hari beranjak sore. Langit telah
menanggalkan jubah birunya dan mulai merajut warna jingga. Matahari mulai
merangkak ke ufuk barat. Burung-burung berbaris menuju sarangnya. Lampu-lampu
kota satu persatu menyala menggatikan sang raja siang. Keindahan senja kini
tergeser oleh pesona ratu malam yang anggun. Aku dengan langkah pasti menuju ke
rumah Rehan. Aku berharap bintang itu kembali bersinar. Kini aku telah sampai
di rumah bercat birunya. Kumasuki halamannya yang menyambut kedatanganku dengan
harum semerbak bunga yang bermekaran.
“Assalamu`alaikum”,
kataku pasti. Tidak lama kemudian kulihat seseorang dari balik pintu yang
menyambut kedatanganku dengan hangat.
“Wa`alaikumsalam.
Oh ada Rensa, silakan masuk”, kata Tante Rina.
“Makasih
tante. Hm, Rehan ada tante?” tanyaku setelah mengobrol sebentar dengan Tante
Rina. Sekedar basa basi agar Tante Rina tidak curiga dengan kedatanganku.
“Ada
di halaman belakang tuh. Mungkin lagi belajar, kamu kesana saja”.
“Ya.
Permisi tante”, kataku sambil berlalu dari hadapan Tante Rina. Dia membalas
ucapanku dengan senyuman khasnya. Langkahku sedikit gemetar setelah kulihat
Rehan yang sedang duduk dan matanya terlihat sedang menerawang jauh ke depan.
Rupanya kehadiranku tidak disadari olehnya. Akupun dengan hati-hati mencoba
menyapa dan tersenyum kepadanya. Namun, bukan seperti apa yang kuinginkan.
Harapanku musnah, dia malah menatapku dingin. Satu menit, dua menit, tiga
menit... berlalu tanpa ada yang memulai percakapan. Aku tidak tahan dengan
kebisuan ini. Aku tidak tahan dengan suasana yang begitu hambar dan menyesakkan
ini.
“Surat
yang kamu kasih itu tidak benarkan?”, tanyaku sedikit emosi.
“Itu
benar”, katanya singkat namun, menyesakkan dadaku.
“Apa
salahku?”.
“Karena
aku sudah bosan dengan tingkah kekanakanmu”, katanya sambil berdiri dan menikam
padanganku. Aku takut dengan kemarahannya.
“Apa?”,
kali ini benar-benar emosi. Aku tidak mampu membendung air mataku. Aku tidak
mampu untuk menahan amarahku. Suasana ini semakin panas dan bertambah panas.
“Iya,
kamu itu egois dan tidak pernah peduli dengan orang lain!”.
“Tapi
kenapa kamu baru bilang sekarang? Dan kenapa selama ini kamu mau berteman dengan
orang yang egois seperti diriku?”.
“Karena
aku ingin melihatmu menangis dan merasakan kekecewaan yang dalam Rensa!”, katanya
dengan volume tinggi.
“Terus
kamu ingin melihat kehancuranku dengan semua ini?”.
“Iya”,
katanya enteng.
“Aku
tidak percaya kamu tega menghianati persahabatan kita Rehan? “
Pertanyaanku menggantung, dia tidak bergeming. Kulanjutkan nafsuku untuk memarahinya.
Pertanyaanku menggantung, dia tidak bergeming. Kulanjutkan nafsuku untuk memarahinya.
“Kamu
jahat. Aku benci dengan sandiwaramu. Dan sekarang, silakan kamu tertawa atas
kebodohanku karena aku telah masuk ke dalam perangkap licikmu!” kataku
mengakhiri pertengkaran ini dan berlari pergi. Aku tidak peduli dengan Tante
Rina yang berusaha bertanya tentang apa yang telah terjadi. Kuterobos hujan
yang lebat bersama air mata yang bercucuran di pipiku. Aku beku oleh cerita
yang telah berlalu. Dosakah aku sehingga aku harus merasakan sakit ini? Ingin
rasanya aku menjemput malaikat yang menyongsong hari baruku. Tapi apa?
Dinginnya malam menjerit rona kehidupan. Aku merasakannya tapi aku tidak
berprasaan. Langkah kaki ini terseok-seok dan terhias seni kehidupan yang penuh
kemunafikan.
***
Simfoni pagi menyenandungkan putihnya
kehidupan. Ketika cinta ibarat nafas yang berhembus, ingin rasanya aku menyelami memori
masa lalu. Ingin rasanya hatiku memeluk kenangan yang telah tercipta. Cinta ini
teramat pahit untuk dipertanyakan. Aku merenung, menatap lembut kegelapan
hatiku. Berhambus lesu menghancurkan anganku. Bulan tidak lagi bersinar,
bintang tidak lagi berkuasa dan matahari telah gerhana. Sudah satu mimggu lebih
setelah pertengkaran itu terjadi. Aku tidak mau tahu semua hal yang berhubungan
dengan Rehan. Kebencian ini telah sampai pada puncaknya. Ku singkirkan semua
hal yang akan memunculkan ingatanku padanya. Namun, apa dayaku untuk menolak?
Hati ini luluh ketika mendengar kabar bahwa Rehan sedang berada di rumah sakit
dan akan menjalani operasi karena tumor otak yang di deritanya. Aku sama sekali
tidak tahu bahwa Rehan menderita penyakit ganas dan amat mematikan itu. Aku
mengutuk diriku sendiri. Aku menyesal, aku benci dengan diriku yang tidak peka
dengan kondisinya. Apalagi beberapa waktu lalu aku sempat membencinya. Cukup
sampai di sini, aku segera menuju rumah sakit dan mendapati Rehan yang
terbaring lemah di atas ranjang dengan berbagai macam peralatan yang melekat di
tubuhnya. Aku menangis. Lama kupandangi wajah Rehan yang teduh, wajah itu
mengingatanku pada senyumnya, pada tawanya, dan pada gurauannya di saat aku
terpuruk. Semua tentang Rehan terbayang dan berseliweran dipikiranku. Tapi terlambat, semua tinggal
kenangan ketika alat pendeteksi jantung itu berhenti berjalan. Dia telah tiada.
Dia telah berpulang menghadap Rabb-nya. Dia telah meninggalkan luka di hidupnya
yang singkat. Dia telah menapaki alam yang berbeda. Tangisku semakin
menjadi-jadi ketika aku mendengar penjelasan dari Tante Rina, bahwa Rehan lebih
baik melihatku membencinya daripada aku harus bersedih melihat dirinya
menderita penyakit itu. Dan dia ternyata sangat menyayangiku, semua alasan itu
sudah terlambat kuketahui. Aku menyesal telah mengatainya jahat.
“Rehan
maafkan aku”, rintihku dalam hati.
Aku
hampir saja pingsan, beruntung ada Tante Rina dan Om Roy yang menguatkanku.
Serasa separuh jiwaku telah melayang bersamanya. Aku benar-benar kehilangan
malaikat hidupku. Hingga akhirnya harus kukuatkan diriku untuk mengantarkan
jazadnya ke peristirahatannya yang terakhir. Air mataku masih saja enggan
berhenti hingga pemakaman itu usai. Satu persatu orang-orang meninggalkan makam
itu. Disana tinggallah aku, tante Rina, dan Om Roy yang masih bertahan. Aku
merintih. Aku mendendam perih. Sebuah luka hampir saja meringkus jiwaku dan
melahap mimpi-mimpiku. Dunia ketika jalan terasa gelap dan buntu. Mataku begitu
pedih. Aku merasa hidupku, mimpiku, dan jiwaku lamat-lamat tenggelam dalam
pusara itu. Akupun akhirnya hanya bisa bersimpuh dan memunajatkan doa
kepada-Nya. Aku terpaksa melewati hari dalam jeri. Aku seperti didesak ke dalam
palung bumi yang paling gulita. Aku sendiri dan sepi. Air mata berderai-derai
di pelupukku saat ini. Gejolak batinku teriksa oleh penyesalanku.
“Aku
selalu mengingatmu Rehan dan semoga Tuhan selalu menyayangimu”, kata yang
terakhir keluar dari mulutku sebelum meninggalkan pemakaman itu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar