Rabu, 15 Oktober 2014

Cerpen gue gann :)

UNTUK KAKEK

Yogyakarta, 11 Desember 2011
Untuk kakek,
Kek, ini Yashinta
Yashinta sekarang ada di sini, di rumah kakek
Yashinta sayang sama kakek
Yashinta tahu,
Yashinta mengerti,
Dengan apa Yashinta berdiri tegak tanpa belaianmu, kek?
Dengan apa Yashinta meletakkan asa tanpamu, kek?
Tangan kekarmu menopang hidupku yang rapuh,
Kau telah rubah wajah tampanmu dengan garis keriput di usiamu, kek
Demi aku, cucu tunggal yang kau benci!
Kek, kakek adalah dunia untuk Yashinta
Kakek adalah pengganti orang tua Yashinta yang tidak pernah Yashinta ketahui keberadaannya
Yashinta tahu bahwa kakek sangat membenci Yashinta
Tapi tangan kakek...
Pengorbanan kakek...
Hidup kakek...
Hanya untuk Yashinta!
Siang dan malam bermimpi untuk mewujudkan matahari
Tapi Yashinta, Yashinta ingin kakek menyambut Yashinta di sini
Ketahuilah kek, bahwa Yashinta sangat menyanyangi kakek
Yashinta tidak pernah membenci kakek,
Yashinta sangat merindukan kakek
                                                                                                Salam sayang, *YASHINTA*

Surat itu terjatuh dari tanganku...

            Andai putih itu adalah suci. Andai putih itu adalah benar. Andai putih itu bersih. Maka hitam adalah kenistaan. Hitam adalah belenggu kehinaan. Hitam adalah dosa. Dan hitam adalah kejahatan. Ya, jika hitam dan putih itu memihak, mungkin aku adalah abu-abu. Kenalkan, namaku Yashinta. Dulu aku tinggal bersama kakekku, orang-orang kampung memanggilnya Mbah Atemo. Aku sangat menyanyanginya. Tapi sebaliknya, itu tidak berlaku balik kepadaku. Aku hampir tidak percaya dengan hari-hari yang kulalui. Hal apa yang membuatnya begitu membenciku, aku tidak pernah tahu. Sudahlah, aku tidak mau memikirkannya. Tapi tempatku berpijak memaksaku membedah memori yang telah lama kupendam. Tanah ini membuatku harus kembali menatap kisah hidupku yang suram. Rumah ini mengingatkanku pada perjalanan kisah beberapa tahun yang lalu.
Saksikan!
            Simfoni pagi menyenandungkan putihnya kehidupan. Laut masa depan yang menggemuruh hanya membawa secercah harapan bagiku: banting tulang dan duka lara. Digundah mencucurkan air mata oleh sutu pengharapan. Dan mungkin bila duka penghabisan mendekat datang, baru cinta dan senyum penghabisan menggilai menang. Siapa sanggup menunjukkan awal pada sebuah kenangan? Bilapun itu ada. Tapi aku tidak mempercayainya. Bila saja ada tempat untukku bersembunyi. Bila saja ada kata untukku dapat melukiskannya. Ketika ketakutan ini membelenggu menikmati hariku. Ingin rasanya aku berteriak. Menggemparkan, lalu terkulai tak berdaya. Nikmat apa yang dapat kukecap ketika bibir ini serasa membeku? Dan ketika deru roda membekas luka apa dayaku? Ingin kuhempaskan perih dan lukaku. Terlalu istimewakah aku, sehingga aku dipaksa untuk terus merasakannya? Oh Tuhan... Adakah obat untukku hilangkan rasa ini? Sudahlah, aku tidak ingin memprotes takdir Tuhan yang telah digariskan untuk hidupku. Tidak! Karena kehampaan ini menjatuhkanku.
            Gelap masih menyelimuti pagi. Embun menetes dipucuk dedaunan. Kokok ayam bersahut-sahutan mengiringi bintang yang silih berganti. Suara adzan menggema membangunkan semua makhluk untuk memuja-Nya. Begitupun denganku. Kupanjangkan sujudku pada-Nya. Kunikmati lantunan doa disetiap gerakan-Nya.
“... Ya  Allah, ampunilah dosa-dosaku. Aku hanyalah makluk bodoh yang terjebak di antara hitam dan putih takdir-Mu. Aku hanyalah makhluk yang penuh dosa kepada-Mu. Setiap hari dosa adalah pengawal hidupku yang setia. Dosa adalah nuansa bening dalam hatiku yang yang telah bercampur dengan setan-setan yang seram. Ya Allah, tangan ini selalu berharap kemenangan-Mu? Namun, hati ini selalu berkata ‘aku telah berdosa’. Bolehkah aku menghapusnya? ...”
Pagi itu setelah sholat shubuh aku berjalan keluar kamar dan kulihat kakekku sedang bercakap-cakap dengan seseorang yang sama sekali tidak kukenal. Aku mengendap-ngendap ingin mengetahui pembicaraan itu. Entah apa kaki ini mengajakku untuk terus melangkah. Kudekati, perlahan, satu langkah, dua langkah, tiga langkah... kusibak sedikit tirai yang menghalangi pemandanganku. Namun, percakapan itu hanya samar-samar. Patah-patah ucapan katanya. Percuma. Ini hanya sia-sia. Aku pun mendengus kesal. Kubatalkan niatku untuk mengetahui pembicaraan itu. Rasa kecewa mendendamku untuk melangkah pergi.
            Pagi bertukar siang. Siang bertukar sore. Sore beranjak malam. Siklus abadi yang tertata rapi.
“Yas, Yashinta! Cepat ke sini!” teriak kakekku dari kamarnya. Nadanya terlihat marah.
 “Ya kek”, kataku sambil berlari ke kamarnya.
“Di mana cincin akik yang berwarna merah itu?”, katanya menghardikku ketika aku tiba di kamarnya.  Aku takut.
“Yashinta tidak tahu cincin apa yang kakek maksud”.
“Jangan pura-pura, di mana kau sembunyikan cincin itu? Cepat katakan!”, katanya bertambah marah. Aku semakin takut untuk menatap mata merahnya. Rupanya apa yang ada di pikiranku tidak ada di pikirannya, sehingga dia tidak tahu apa yang aku rasakan. Dia terlalu egois untuk dirinya sendiri. Dia terlalu mencintai dirinya sendiri, sehingga dia tidak menganggapku ada.
“Kek, Yashinta tidak menyembunyikan cincin kakek. Mungkin kakek lupa menaruhnya?”, tanyaku mencoba bersabar.
“Tidak. Kau pasti telah mencurinya!”.
“Harus dengan apa Yashinta bilang kepada kakek agar kakek percaya jika Yashinta tidak seperti apa yang kakek tuduhkan?”
“Halah tidak usah banyak tingkah, cepat katakan!”.
Aku masih mencoba bersabar. Aku tidak mau berbicara menyalahi kodrat-Nya kepada orang yang telah membesarkanku. Aku ingin tetap menghormatinya.
“Apakah cincin itu terlalu berharga untuk kakek?”.
“Ya. Barang tentu cincin itu berisi mantra-mantra dari leluhur kita. Cincin itu yang melindungi hidup kita selama ini!”.
Apa? Aku terperanjat. Aku tidak percaya kakek masih mempercayai hal-hal yang dilarang agama.
“Itu takhayul kek. Kenapa kakek mesti percaya? Kita hanya wajib berlindung kepada Allah SWT. Dialah satu-satunya yang pantas untuk kita mintai perlindungan”, kataku berusaha meluruskan jalan pikirannya. Tapi apa yang kuterima? Kemarahannya semakin membara.
“Dasar anak tidak tahu diuntung! Belasan tahun aku membesarkanmu dengan susah payah. Tapi apa balasannya? Kau malah berusaha menentangku. Kau bersikap durhaka pada orang yang telah membesarkanmu. Tidak pernahkah kau diajarkan untuk berterimakasih? Aku menyesal telah membesarkanmu, Yashinta!”.
Deeeggghhh... Hati ini sakit. Aku serasa berjalan di antara duri-duri yang tajam. Perih ini. Luka ini, menenggelamkanku! Apa salahku? Apa salah hidupku? Aku bahkan tidak pernah meminta untuk di lahirkan. Aku tidak pernah meminta untuk ada. Arrggghhh... dia kejam! Dia, dia, dia.. aku tidak mampu untuk mengatakannya...
“Kakek?”, tanyaku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Kristal-kristal bening ini mengambang dan aku  tidak kuat untuk membendungnya. Ya, aku menangis. Aku menangisi nasibku yang malang. Sejak kapan aku menangis saat orang-orang terdekatku melihatku tertawa? Sejak kapan? Sejak kapan, Yas? Bukankah kamu orang yang kuat? Bukankah kau sangat membenci itu semua? Sejak kapan kamu terlihat rapuh? Sejak kapan, Yas? Ayo katakan! Arrgghhhh... benar-benar bodoh, semua terlihat memojokkanku! Pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba bermunculan di pikiranku menambah satu persatu beban di hidupku. Dan sekarang yang aku rasakan hanyalah sebuah... kegelapan!
“Apa kamu tidak terima kakek berkata seperti itu? Apa kamu sudah bosan tinggal dengan kakek? Jika ya, silakan pergi! Kakek sudah tidak mau lagi melihatmu ada di sini!”.
“Kek, Yashinta sayang sama kakek. Yashinta ingin tinggal dengan kakek. Hanya kakek satu-satunya orang yang Yashinta punya. Kek Yashinta mohon!”.
           Tapi hitam tetaplah hitam. Hitam akan selalu menjadi hitam. Hitam adalah warna yang angkuh. Sembah abdiku sia-sia. Pengabdianku selama ini tidak ada nilainya. Dia melengos pergi. Dia tetap pada pendiriannya. Baik! Jika ini takdirku, aku akan pergi. Takdir telah membawaku pada perantauan ini.
Kembali padaku!
             5 tahun yang lalu. Ya, tepatnya saat aku melangkah pergi dari rumah ini. Saat aku tidak tahu harus melangkahkan kakiku ke arah mana. Saat aku tidak tahu harus menggantungkan nasibku kepada siapa. Saat sebuah luka hampir saja meringkus jiwaku dan melahap mimpi-mimpiku. Saat aku tidak terima dengan semua yang telah terjadi. Tapi saat ini. Detik ini. Menit ini. Jam ini. Hari ini. Aku berdiri di sini. Aku menggenggam kisahku sedemikian kuat sehingga aku harus merasakan sakit. Aku berdiri menantang bangunan rumah yang hampir roboh ini. Aku hilang. Tidak. Aku tahu. Aku masih sadar. Aku hanya terdiam. Aku ingin diriku. Aku ingin barang sedetik pun untuk mengingat hal bahagia yang aku dapatkan di rumah ini dulu. Aku menyerah. Saat ini aku benar-benar rindu dengan kakekku. Jujur. Aku tidak pernah bisa membencinya. Kakekku adalah hidupku. Dia bintang di hatiku. Tapi kenyataan berpendapat lain. Waktu telah lama memisahkanku dengan kakek di alam yang sama. Tuhan memanggilnya untuk kembali.
“Tuhan? Bolehkah aku memprotesmu? Bolehkah aku menoreh skenario takdir hidupku sendiri? Tuhan? Bolehkah aku meminta-Mu untuk memisahkan rohku agar aku bisa bertemu dengan kakekku lagi? Tuhan aku mohon!”, jeritku dalam hati.
“Yashinta, sudah jangan sesali hidupmu!”, kata Rehan. Dia membangkitkanku dan memelukku erat, seakan dia ingin mengatakan bahwa dia ada untukku. Ya, dia memang orang yang membantuku saat aku terpuruk. Dan sekarang dia telah menjadi suamiku. Dia benar-benar malaikat dalam hidupku.
“Tidak! Aku bahkan tidak pernah menyesali hidupku. Aku bahkan tidak pernah berfikir bahwa hidupku sia-sia. Hanya saja kerinduanku pada kakek belum ada obat yang bisa menawarnya”.
“Tenangkan dirimu dulu Yashinta. Aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Sekarang,  lihatlah rumah ini, bayangkan jika kamu sedang bercanda ria dengan kakekmu. Bayangkan jika dia sangat menyanyangimu, meski itu tidak pernah kamu rasakan. Bermimpilah Yas! Karena hidup ini adalah mimpi. Semua berawal dari mimpi. Bayangkan Yas, bayangkan kakekmu ada di hadapanmu!”, katanya bijak.
“Itu mustahil. Aku tidak bisa melakukannya”.
“Kemustahilan itu tergantung dari arah mana kita memandang. Aku percaya kamu bisa”, katanya sambil tersenyum.
“Tapi Han, apakah sampai dinginnya malam menjerit rona kehidupan? Oleh hati yang tidak bisa merasakan, palung hidup yang demikian dalam! Terbengkelai oleh isu yang berhamburan. Aku? Aku beku oleh cerita hidupku yang telah berlalu, Rehan? Aku mendendam asa yang berpeluk pilu! Kisah ini begitu kuat terekam di memoriku!”.
“Ya. Semua itu terhias seni kehidupan yang penuh kemunafikan. Bukan hanya kau Yas, tapi aku juga. Aku celaka karena kecerobohanku memegang hatiku. Kelalaianku merahasiakan janjiku. Dan kealpaan yang membodohkan diriku. Tapi aku tahu, semua itu tertulis atas kehendak-Nya.  Jadikan masa lalu itu sebagai sejarah yang indah untuk masa depan kita. Karena masa depan adalah milik kita berdua. Percaya padaku Yas! Percayalah, kakekmu selalu tinggal di hatimu mesti dia telah tiada”.
“Ya. Tapi aku sangat merindukan dirinya!”.
“Dia juga merindukanmu!”.
“Dari mana kau tahu? Kau bahkan belum pernah  yang dengan kakekku?”.
“Lihatlah bangunan ini! Dia yang akan menceritakan padamu”.            
          Aku terdiam. Rupanya dia juga sedang membayangkan sesuatu. Sedikit demi sedikit aku sudah bisa terima. Rasa rinduku pun terbalas sudah. Aku lega. Sungguh. Dia benar. Aku mencintainya. Dia mengajarkanku tentang kehidupan.
Kamu memang orang yang bisa mengerti aku Han”, kataku dalam hati sambil menatap matanya yang teduh. Sungguh, mata itu membuatku nyaman.
“Yas, ayo kita pulang, hari sudah sore”, katanya sambil menggandengku pergi.
“Owwwhhh... aku hampir lupa”, ucapku sambil mengikuti langkahnya yang panjang.
         Sore itu pukul 17.20 aku kembali pergi. Bahkan sampai sekarang aku tidak pernah tahu siapa sebenarnya yang mencuri cincin itu. Mungkin maling! Mungkin juga bukan. Dan sampai saat ini pun aku pergi dari rumah itu lagi tanpa tahu alasan apa yang membuat kakek begitu membenciku.
                                                                                    Yashinta, 11 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar