UNTUK
KAKEK
Yogyakarta, 11 Desember 2011
Untuk kakek,
Kek, ini Yashinta
Yashinta sekarang ada di sini, di rumah kakek
Yashinta sayang sama kakek
Yashinta tahu,
Yashinta mengerti,
Dengan apa Yashinta berdiri tegak tanpa belaianmu,
kek?
Dengan apa Yashinta meletakkan asa tanpamu, kek?
Tangan kekarmu menopang hidupku yang rapuh,
Kau telah rubah wajah tampanmu dengan garis keriput di
usiamu, kek
Demi aku, cucu tunggal yang kau benci!
Kek, kakek adalah dunia untuk Yashinta
Kakek adalah pengganti orang tua Yashinta yang tidak
pernah Yashinta ketahui keberadaannya
Yashinta tahu bahwa kakek sangat membenci Yashinta
Tapi tangan kakek...
Pengorbanan kakek...
Hidup kakek...
Hanya untuk Yashinta!
Siang dan malam bermimpi untuk mewujudkan matahari
Tapi Yashinta, Yashinta ingin kakek menyambut Yashinta
di sini
Ketahuilah kek, bahwa Yashinta sangat menyanyangi
kakek
Yashinta tidak pernah membenci kakek,
Yashinta sangat merindukan kakek
Salam
sayang, *YASHINTA*
Surat itu terjatuh
dari tanganku...
Andai putih itu adalah suci. Andai
putih itu adalah benar. Andai putih itu bersih. Maka hitam adalah kenistaan.
Hitam adalah belenggu kehinaan. Hitam adalah dosa. Dan hitam adalah kejahatan.
Ya, jika hitam dan putih itu memihak, mungkin aku adalah abu-abu. Kenalkan,
namaku Yashinta. Dulu aku tinggal bersama kakekku, orang-orang kampung
memanggilnya Mbah Atemo. Aku sangat menyanyanginya. Tapi sebaliknya, itu tidak
berlaku balik kepadaku. Aku hampir tidak percaya dengan hari-hari yang kulalui.
Hal apa yang membuatnya begitu membenciku, aku tidak pernah tahu. Sudahlah, aku
tidak mau memikirkannya. Tapi tempatku berpijak memaksaku membedah memori yang
telah lama kupendam. Tanah ini membuatku harus kembali menatap kisah hidupku
yang suram. Rumah ini mengingatkanku pada perjalanan kisah beberapa tahun yang
lalu.
Saksikan!
Simfoni pagi menyenandungkan
putihnya kehidupan. Laut masa depan yang menggemuruh hanya membawa secercah
harapan bagiku: banting tulang dan duka lara. Digundah mencucurkan air mata
oleh sutu pengharapan. Dan mungkin bila duka penghabisan mendekat datang, baru
cinta dan senyum penghabisan menggilai menang. Siapa sanggup menunjukkan awal
pada sebuah kenangan? Bilapun itu ada. Tapi aku tidak mempercayainya. Bila saja
ada tempat untukku bersembunyi. Bila saja ada kata untukku dapat melukiskannya.
Ketika ketakutan ini membelenggu menikmati hariku. Ingin rasanya aku berteriak.
Menggemparkan, lalu terkulai tak berdaya. Nikmat apa yang dapat kukecap ketika
bibir ini serasa membeku? Dan ketika deru roda membekas luka apa dayaku? Ingin
kuhempaskan perih dan lukaku. Terlalu istimewakah aku, sehingga aku dipaksa
untuk terus merasakannya? Oh Tuhan... Adakah obat untukku hilangkan rasa ini?
Sudahlah, aku tidak ingin memprotes takdir Tuhan yang telah digariskan untuk hidupku.
Tidak! Karena kehampaan ini menjatuhkanku.
Gelap masih menyelimuti pagi. Embun
menetes dipucuk dedaunan. Kokok ayam bersahut-sahutan mengiringi bintang yang
silih berganti. Suara adzan menggema membangunkan semua makhluk untuk
memuja-Nya. Begitupun denganku. Kupanjangkan sujudku pada-Nya. Kunikmati
lantunan doa disetiap gerakan-Nya.
“... Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku. Aku hanyalah
makluk bodoh yang terjebak di antara hitam dan putih takdir-Mu. Aku hanyalah
makhluk yang penuh dosa kepada-Mu. Setiap hari dosa adalah pengawal hidupku
yang setia. Dosa adalah nuansa bening dalam hatiku yang yang telah bercampur
dengan setan-setan yang seram. Ya Allah, tangan ini selalu berharap
kemenangan-Mu? Namun, hati ini selalu berkata ‘aku telah berdosa’. Bolehkah aku menghapusnya? ...”
Pagi
itu setelah sholat shubuh aku berjalan keluar kamar dan kulihat kakekku sedang
bercakap-cakap dengan seseorang yang sama sekali tidak kukenal. Aku
mengendap-ngendap ingin mengetahui pembicaraan itu. Entah apa kaki ini
mengajakku untuk terus melangkah. Kudekati, perlahan, satu langkah, dua
langkah, tiga langkah... kusibak sedikit tirai yang menghalangi pemandanganku.
Namun, percakapan itu hanya samar-samar. Patah-patah ucapan katanya. Percuma.
Ini hanya sia-sia. Aku pun mendengus kesal. Kubatalkan niatku untuk mengetahui
pembicaraan itu. Rasa kecewa mendendamku untuk melangkah pergi.
Pagi bertukar siang. Siang bertukar
sore. Sore beranjak malam. Siklus abadi yang tertata rapi.
“Yas, Yashinta!
Cepat ke sini!” teriak kakekku dari kamarnya. Nadanya terlihat marah.
“Ya kek”, kataku sambil berlari ke kamarnya.
“Di mana cincin akik
yang berwarna merah itu?”, katanya menghardikku ketika aku tiba di
kamarnya. Aku takut.
“Yashinta tidak tahu
cincin apa yang kakek maksud”.
“Jangan pura-pura,
di mana kau sembunyikan cincin itu? Cepat katakan!”, katanya bertambah marah.
Aku semakin takut untuk menatap mata merahnya. Rupanya apa yang ada di pikiranku
tidak ada di pikirannya, sehingga dia tidak tahu apa yang aku rasakan. Dia
terlalu egois untuk dirinya sendiri. Dia terlalu mencintai dirinya sendiri,
sehingga dia tidak menganggapku ada.
“Kek, Yashinta tidak
menyembunyikan cincin kakek. Mungkin kakek lupa menaruhnya?”, tanyaku mencoba
bersabar.
“Tidak. Kau pasti
telah mencurinya!”.
“Harus dengan apa
Yashinta bilang kepada kakek agar kakek percaya jika Yashinta tidak seperti apa
yang kakek tuduhkan?”
“Halah tidak usah
banyak tingkah, cepat katakan!”.
Aku masih mencoba
bersabar. Aku tidak mau berbicara menyalahi kodrat-Nya kepada orang yang telah
membesarkanku. Aku ingin tetap menghormatinya.
“Apakah cincin itu
terlalu berharga untuk kakek?”.
“Ya. Barang tentu
cincin itu berisi mantra-mantra dari leluhur kita. Cincin itu yang melindungi
hidup kita selama ini!”.
Apa? Aku
terperanjat. Aku tidak percaya kakek masih mempercayai hal-hal yang dilarang
agama.
“Itu takhayul kek.
Kenapa kakek mesti percaya? Kita hanya wajib berlindung kepada Allah SWT.
Dialah satu-satunya yang pantas untuk kita mintai perlindungan”, kataku
berusaha meluruskan jalan pikirannya. Tapi apa yang kuterima? Kemarahannya
semakin membara.
“Dasar anak tidak
tahu diuntung! Belasan tahun aku membesarkanmu dengan susah payah. Tapi apa
balasannya? Kau malah berusaha menentangku. Kau bersikap durhaka pada orang
yang telah membesarkanmu. Tidak pernahkah kau diajarkan untuk berterimakasih?
Aku menyesal telah membesarkanmu, Yashinta!”.
Deeeggghhh...
Hati ini sakit. Aku serasa berjalan di antara duri-duri yang tajam. Perih ini.
Luka ini, menenggelamkanku! Apa salahku? Apa salah hidupku? Aku bahkan tidak
pernah meminta untuk di lahirkan. Aku tidak pernah meminta untuk ada.
Arrggghhh... dia kejam! Dia, dia, dia.. aku tidak mampu untuk mengatakannya...
“Kakek?”, tanyaku
masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Kristal-kristal bening
ini mengambang dan aku tidak kuat untuk
membendungnya. Ya, aku menangis. Aku menangisi nasibku yang malang. Sejak kapan
aku menangis saat orang-orang terdekatku melihatku tertawa? Sejak kapan? Sejak
kapan, Yas? Bukankah kamu orang yang kuat? Bukankah kau sangat membenci itu
semua? Sejak kapan kamu terlihat rapuh? Sejak kapan, Yas? Ayo katakan!
Arrgghhhh... benar-benar bodoh, semua terlihat memojokkanku!
Pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba bermunculan di pikiranku menambah satu
persatu beban di hidupku. Dan sekarang yang aku rasakan hanyalah sebuah...
kegelapan!
“Apa kamu tidak
terima kakek berkata seperti itu? Apa kamu sudah bosan tinggal dengan kakek?
Jika ya, silakan pergi! Kakek sudah tidak mau lagi melihatmu ada di sini!”.
“Kek, Yashinta
sayang sama kakek. Yashinta ingin tinggal dengan kakek. Hanya kakek
satu-satunya orang yang Yashinta punya. Kek Yashinta mohon!”.
Tapi hitam tetaplah hitam. Hitam
akan selalu menjadi hitam. Hitam adalah warna yang angkuh. Sembah abdiku
sia-sia. Pengabdianku selama ini tidak ada nilainya. Dia melengos pergi. Dia
tetap pada pendiriannya. Baik! Jika ini takdirku, aku akan pergi. Takdir telah
membawaku pada perantauan ini.
Kembali
padaku!
5 tahun yang lalu. Ya, tepatnya
saat aku melangkah pergi dari rumah ini. Saat aku tidak tahu harus melangkahkan
kakiku ke arah mana. Saat aku tidak tahu harus menggantungkan nasibku kepada
siapa. Saat sebuah luka hampir saja meringkus jiwaku dan melahap mimpi-mimpiku.
Saat aku tidak terima dengan semua yang telah terjadi. Tapi saat ini. Detik
ini. Menit ini. Jam ini. Hari ini. Aku berdiri di sini. Aku menggenggam kisahku
sedemikian kuat sehingga aku harus merasakan sakit. Aku berdiri menantang
bangunan rumah yang hampir roboh ini. Aku hilang. Tidak. Aku tahu. Aku masih
sadar. Aku hanya terdiam. Aku ingin diriku. Aku ingin barang sedetik pun untuk
mengingat hal bahagia yang aku dapatkan di rumah ini dulu. Aku menyerah. Saat
ini aku benar-benar rindu dengan kakekku. Jujur. Aku tidak pernah bisa
membencinya. Kakekku adalah hidupku. Dia bintang di hatiku. Tapi kenyataan
berpendapat lain. Waktu telah lama memisahkanku dengan kakek di alam yang sama.
Tuhan memanggilnya untuk kembali.
“Tuhan? Bolehkah aku memprotesmu? Bolehkah aku
menoreh skenario takdir hidupku sendiri? Tuhan? Bolehkah aku meminta-Mu untuk
memisahkan rohku agar aku bisa bertemu dengan kakekku lagi? Tuhan aku mohon!”,
jeritku dalam hati.
“Yashinta,
sudah jangan sesali hidupmu!”, kata Rehan. Dia membangkitkanku dan memelukku
erat, seakan dia ingin mengatakan bahwa dia ada untukku. Ya, dia memang orang
yang membantuku saat aku terpuruk. Dan sekarang dia telah menjadi suamiku. Dia
benar-benar malaikat dalam hidupku.
“Tidak!
Aku bahkan tidak pernah menyesali hidupku. Aku bahkan tidak pernah berfikir
bahwa hidupku sia-sia. Hanya saja kerinduanku pada kakek belum ada obat yang
bisa menawarnya”.
“Tenangkan
dirimu dulu Yashinta. Aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Sekarang, lihatlah rumah ini, bayangkan jika kamu
sedang bercanda ria dengan kakekmu. Bayangkan jika dia sangat menyanyangimu,
meski itu tidak pernah kamu rasakan. Bermimpilah Yas! Karena hidup ini adalah
mimpi. Semua berawal dari mimpi. Bayangkan Yas, bayangkan kakekmu ada di
hadapanmu!”, katanya bijak.
“Itu
mustahil. Aku tidak bisa melakukannya”.
“Kemustahilan
itu tergantung dari arah mana kita memandang. Aku percaya kamu bisa”, katanya
sambil tersenyum.
“Tapi
Han, apakah sampai dinginnya malam menjerit rona kehidupan? Oleh hati yang
tidak bisa merasakan, palung hidup yang demikian dalam! Terbengkelai oleh isu
yang berhamburan. Aku? Aku beku oleh cerita hidupku yang telah berlalu, Rehan?
Aku mendendam asa yang berpeluk pilu! Kisah ini begitu kuat terekam di memoriku!”.
“Ya.
Semua itu terhias seni kehidupan yang penuh kemunafikan. Bukan hanya kau Yas,
tapi aku juga. Aku celaka karena kecerobohanku memegang hatiku. Kelalaianku
merahasiakan janjiku. Dan kealpaan yang membodohkan diriku. Tapi aku tahu,
semua itu tertulis atas kehendak-Nya.
Jadikan masa lalu itu sebagai sejarah yang indah untuk masa depan kita.
Karena masa depan adalah milik kita berdua. Percaya padaku Yas! Percayalah,
kakekmu selalu tinggal di hatimu mesti dia telah tiada”.
“Ya.
Tapi aku sangat merindukan dirinya!”.
“Dia
juga merindukanmu!”.
“Dari
mana kau tahu? Kau bahkan belum pernah yang
dengan kakekku?”.
“Lihatlah bangunan ini! Dia yang akan menceritakan padamu”.
Aku terdiam. Rupanya dia juga sedang
membayangkan sesuatu. Sedikit demi sedikit aku sudah bisa terima. Rasa rinduku
pun terbalas sudah. Aku lega. Sungguh. Dia benar. Aku mencintainya. Dia
mengajarkanku tentang kehidupan.
“Kamu memang orang yang bisa mengerti aku
Han”, kataku dalam hati sambil menatap matanya yang teduh. Sungguh, mata
itu membuatku nyaman.
“Yas,
ayo kita pulang, hari sudah sore”, katanya sambil menggandengku pergi.
“Owwwhhh...
aku hampir lupa”, ucapku sambil mengikuti langkahnya yang panjang.
Sore itu pukul 17.20 aku kembali
pergi. Bahkan sampai sekarang aku tidak pernah tahu siapa sebenarnya yang
mencuri cincin itu. Mungkin maling! Mungkin juga bukan. Dan sampai saat ini pun
aku pergi dari rumah itu lagi tanpa tahu alasan apa yang membuat kakek begitu
membenciku.
Yashinta, 11 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar