Tetesan Darah
Dia Zafran. Aku mengenalnya baik.
Bahkan sahabatku. Kesehariannya dia hanya berfikir. Terkadang aku kesal dengan
sifatnya sebagai pemikir. Tapi aneh. Kebencian tidak pernah ada. Menurutku dia
unik. Mungkin itu yang membuatku dekat dengannya. 6 tahun bukan waktu yang
singkat. Cukup untuk mengenal tentang dirinya. Dia nakal. Tapi hatinya selalu
baik. Aku yakin itu. Tapi mereka tidak percaya. Bahkan membencinya. Pernah
suatu hari dia bercerita.
“…aku
suka balapan mobil. Tapi aku tidak suka pemenangnya. Aku hanya suku kalau
mobil-mobil yang bertabrakan, apalagi kalau ada mobil bergesekan terus berakhir
dengan kebakaran, itu menyenangkan bagiku…”
Aku
kaget. Kecelakaan ? Aku membenci itu. Mungkin beda dengan si misterius Zafran .
Dia gila. Ide gila Pemikiran gila. Tapi aku mengaguminya. Aneh. Ya betul. Dan
masih banyak hal gila yang dia ceritakan padaku. Aku tidak bias mengikutinya.
Dia terlalu aneh. Satu dari 1000 orang mungkin tidak ada yang seperti dia.
Hanya ada satu dari Zafran-Zafran yang ada. Ya, hanya dia.
“ Nonton bioskop yuk nanti malam ?,” dia datang
kepadaku.
“
Ajak saja yang, lain!”
“
Harus kamu!”
“
Daripada film bioskop, tuh sinetron banyak di TV ?”.
“
Aku benci sinetron dengan tema yang selalu cinta. Selalu cinta, cinta, dan
cinta. Pasti semua sinetron mengandung unsur cinta. Mengapa nggak pembunuhan?
Perang? Kekerasan? Atau apakah yang lain”.
Sudah
itu kebiasaannya. Akupun maklum. 17 tahun usianya. Dia tetap sama. Tidak pernah
mau mengenal cinta. Seakan dihidupnya tidak mau tertoreh rasa cinta. Banyak
yang ku sangka. Jiwa apa yang ada di jazadnya ? Arti apa yang terselip
diperkataannya? Dan apa yang ada di hatinya?
“
Oke, aku bisa”.
***
Malam
telah datang. Malas kulangkahkan kaki ini. Demi sahabat. Aku pun rela. Film itu
menyiksaku. Tapi dia menikmatinya. Darah! Peperangan! Pertempuran! Film aksi
yang kubenci. Aku merasa mual. Ingin keluar. Tapi ragu. Ku tahan. Ku tutup
mataku hingga film itu usai. Syukurlah. Aku masih kuat.
“
Harusnya kamu ajak orang lain Fran, bukan aku !” keluhku.
“
Kenapa? Takut lihat darah? Mual? Hahaha….” Dia tertawa mengejekku. Sial. Diri
ini terlihat bodoh. Dia terus menertawaiku. Aku semakin muak.
“ Bukan! Kita beda! Kesenangan yang berbeda
pula!” sanggahku.
“
Kita satu jiwa, meski kita beda”.
Terlalu
pintar dia untuk menanggapinya. Aku terdiam. Membiarkan suasana ini. Dia
mengabaikan. Aku pun juga. Entahlah, kebiasaan ini berlanjut. Menekuni diriku
sendiri. Duniaku sendiri. Bukan Zafran. Bukan keanehan. Mungkin ada. Mungkin
juga tidak ada.
“
Aku bosan dengan tangan ini, hati ini, mata ini, kaki ini, dan pikiran ini.
Tangan ini selalu menginginkan perubahan. Hati ini ingin berteriak bebas. Mata
ini ingin memandang lebih jauh…” katanya tiba-tiba. Aku dibuatnya bingung. Kata
ini tercekat. Apa yang sebenarnya dia inginkan? Terlalu rumit. Singkat. Tapi
membutuhkan pemikiran.
“
Kadang kita tidak terima. Tentang takdir. Tentang hidup kita. Aku juga, tapi
kita harus menerimanya. Aku tahu sifatmu. Jangan coba untuk membodohiku!”
“
Tidak! Aku hanya berfikir…” ucapannya menggantung.
Tidak
dilanjutkan. Aku malas. Terlalu serius dia menanggapinya. Sebuah bintang yang
tak nyala. Terselubung. Tersembunyi dalam hati sanubari manusia. Aku
menggumannya. Entah untuk apa, yang pasti bukan untuk sebuah nilai.
1
tahun berlalu.
Aku pergi. Meninggalkannya. Tanpa
tahu keadaannya. Dan sekarang aku kembali. Demi dia. Demi Zafran sahabatku. Ku
rindu candanya. Tawanya. Dan hal aneh pada dirinya. Namun mengecewakan, Dia
telah menjelma menjadi sebuah patung yang bernyawa. Aku rasa itu hanya
perasaanku. Tidak ini nyata. Berhari-hari kutangkap keanehan itu. Dia tidak
bergerak. Dan pandangan matanya tersorot pada satu titik. Aku yakin itu. Aku
ingin bermain lagi dengannya. Ku coba menggoda lamunannya. Kugelitikan jari ini
di tubuhnya. Dia tetap berpatung. Ah, aku kehabisan ide. Gerangan apa yang
membelitnya?
***
Hari berganti tanpa ada perubahan.
Aku rasa. Zafran belum makan atau minum. Terbukti. Di sana tergeletak beberapa
mangkok nasi dan sayur yang telah basi. Aku tidak yakin dia bertahan. Ternyata
salah. Dia lebih kuat dari yang kusangka. Hari ini aku mengunjunginya lagi.
Berharap dia kembali normal. Masih sama. Tidak ada gerakan. Aku semakin
percaya. Dia tidak bergeming. Mengacuhkanku. Mengacuhkan semua orang yayng
peduli kepadanya. Orang tuanya pun telah menyerah. Keras kepala, pikirku.
Sudah! Mungkin ini cara diam dalam kebisuannya.
“ Aku ingin terbang, merasakan indahnya
angkasa, dan merasa tidak pernah ada,” bisiku pada telinga kanannya. Aku percaya
kekuatan kata itu. Kata yang sering keluar dari mulutnya.
“
Kau telah mencuri hatiku Tian!” katanya geram.
Lalu
diam. Berpatung kembali. Ku biarkan. Aku bersorak dalam hati . Dia
mendengarkanku. Kembali hening. Dan terasa hampa.
1
jam kemudian. Tiba-tiba Zafran jatuh dan tidak sadarkan diri. Aku kaget. Aku
khawatir dengan keadaannya. Segera aku dan om Rian melarikan Zafran ke rumah
sakit. Tubuhnya ber-es. Mulutnya terlihat pucat dan kering. Kelopak matanya
cekung dan hitam. Dia terlalu lelah. Mulut ini terus berucap doa. Berharap
berbuah bahagia. Aku tidak tahu ini sadar atau tidak. Ku lihat Zafran
menitihkan air mata. Dalam mata tertutupnya? Apakah mungkin? Ku tepis. Mungkin
ini hanya halusinasi berlebihanku saja. Sampai di rumah sakit. Zafran mendapat perawatan. Dalam hitungan
detik tubuh itu telah dipenuhi berbagai selang. Aku meringis. Tidak tega. Aku
dan dia terlalu dekat. Diri ini bias merasakan penderitaannya. Sayang, mata ini
hanya bisa memandang di balik kaca.
3
jam berlalu
Degup
jantung ini bertambah. Kekhawatiran mengurungku. Keadaanya membuatku menangis.
Aku tidak kuat. Lemas. Ku pacu langkahku. Tergesa. Ini aneh. Aku menerobos
kamarnya. Melanggar hak pribadinya. Tuhan, maafkan. Aku khilaf. Aku yakin akan
kutemukan kuncinya disini. Lempar kanan. Lempar kiri. Buku, barang dan
sebagainya bertabrakan. Zafran, maaf aku harus melakukan ini. Aku mendesah.
Secarik kertas merayuku. Aku tergoda. Ku dekati. Tangan ini merinding. Dingin
dan berkeringat. Ku raih. Astaga! Kertas ini bernoda. Bercak merah. Ku cium
baunya. Ya allah, darah! Darah bertetes menghiasinya. Dia menyiksa dirinya
sendiri. Terlalu menderitakah dia? Darah itu memenuhi setiap ruang di kertas
ini.
Zafran, itu namaku. Aku nggak kece,
tapi boleh di bilang kece.
Pemberani, penuh kejutan. Masih
banyak lagi. Aku mencintai diriku.
Mencintai jiwaku. Dan terlalu
mencintai zafranku.
Aku tersenyum getir.
Aku semakin yakin dia menyembunyikan sesuatu selama kepergianku. Kulihat ke
bawah. Ini berbeda.
Bukan tentang sebuah rasa
Tentang rasa dan merasakan
Menurut berkecap kehidupan
Aku bertahta senja, berharap
nirwana
Yang sama, terabadi di pigura kaca
Tuhan, kehidupan ini mestikah
berjalan?
Sungguh kekuatan tak
mampuberkeajaiban
Seonggok rasa ini, Secerah harapan
ini
Sejernih embun di pagi hari
Haruskah kulalui?
Entah nadi, entah apa yang kurasa
Berdarah membelenggu nyawa
Aku menjilatnya!
Aku
tidak mengerti. Aku tidak paham. Arti itu tersembunyi dalam katanya. Apakah dia
ingin mati dengan memotong saluran nadinya?
Aku bertahta senja, berharap nirwana. Apakah dia bosan dengan perbedaannya?
Tuhan kehidupan ini mestikah berjalan?
Apakah dia ingin berubah? Sungguh
kekuatan tak mampu berkeajaiban. Makna tersirat yang tidak bisa ku baca.
Aku bergegas pergi. Ku simpan kertas itu.
“
Zafran, Zafran. Kenapa sih kamu itu nggak cerita sama aku? Harusnya kita saling
terbuka. Tidak tertutup seperti ini! Kamu bilang, kita satu jiwa meski kita
berbeda. Tapi mana buktinya? Kamu berkhianat!” kataku menanggapi keluhannya.
***
Semburat merah bertakbir di ufuk
timur. Aku bergegas pergi. Ku langkahkan kaki ini dengan cepat. Zafran, Zafran,
dan Zafran yang ada di pikiranku. Aku menyebut namanya sepanjang jalan. Aku
terlihat gila. Orang-orang memandangiku penuh selidik. Bahkan sebagian ada yang
memalingkan wajahnya. Sebagian lagi meludah dengan jijik. Tidak masalah. Aku
tidak terbebani oleh semua itu. Sampai di rumah sakit, ku lihat doctor dan Om
Rian sedang membicarakan sesuatu. Tidak kuperhatikan. Langsung saja ku temui
Zafranyang masih terbaring lemah. Matanya masih tertutup. Dia belum sadarkan
diri. Ku pegang tangannya dengan kedua tanganku. Kudekap. Kualiri rasa
persahabatan kita berdua. Kusematkan kisah persahabatan kita berdua. Syukurlah,
tidak lama kemudian dia sadar. Lama kita saling berpandangan. Tidak ada yang
membuka mulut. Tidak tau apa yang harus ditanyakan .
“
Zafran, apa sih yang sebenarnya kamu inginkan?”
“
Aku bosan dan ingin mati!”
“
Letakan khayalanmu! Seluruh dunia adalah kematian yang menunggu.”
“
Jangan pernah kau ikut ambil bagian dengan bayangan semu yang terbias membiru.
Kau berbicara dengan matamu tapi kau berkhianat dengan hatimu. Aku tahu itu,
Tian!”
“
Apakah jiwamu telah mati? Hanya karena darah? Parah!” balasku tak kalah
sengitnya. Dia berhenti sejenak. Memicingkan mata. Dan teringat sesuatu.
“
Katanya kita bebas berekspresi? Arrghhhh…hanya bayang semu yang palsu! Tian,
aku mohon kembalikan kertas itu!”
Aku
diam. Lama. Dia menunggu. Cemas. Aku sengaja membiarkan ini semua. Dia semakin
muak dengan tingkahku. Aku yakin dia kesal. Aku yakin dia marah dengan sikapku.
Tidak mengapa, bagiku. Entah baginya.
“
Tian!” dia menggertakku.
“
Fran, kenapa sih kamu nggak cerita masalahmu? Apa kamu sudah tidak menganggapku
sebagai sahabatmu lagi? Ucapanmu waktu itu hanya sandiwara belaka!” sekarang
dia yang terdiam. Merangkai kata yang tepat. Menatapku lama. Mendengus. Aku
menunggunya. Pancingan itu berhasil.
“
Aku hanya ingin…”
“
Ingin apa?” desakku.
Dia
mulai membuka diri “kamu tahukah tetesan darah itu?”
“
Ya”.
“
Aku mencoba melukis dengan darah”.
“
Melukis dengan darah?” ulangku.
“
Darah? Ya, aku ingin berkarya dengan tubuhku. Aku ingin kelak jika aku
meninggal. Orang-orang akan mengenangku melalui darahku yang tertuang di atas
kanvas itu. Namun sayang kedua orang tuaku membentak bahkan mengurungku di
kamar. Aku berfikir, mungkin jika aku mati aku bisa dengan leluasa
berimajinasi”.
“
Itu tidak mungkin!”
“
Tapi mungkin bagiku”.
“
Huh dasar keras kepala”. Balasku kesal.
“
Tidak mengapa”. Balasnya dingin.
Tiba-tiba
Om Rian masuk diiringi seseorang yang tidak kukenal. Dia tersenyum ramah
kepadaku dan Zafran. Lalu merapat dan membaur bersamaku dan Zafran.
“
Zafran, kenalkan ini adalah Om Edmund.
Dia pemilik gedung pameran sekaligus pelukis yang hebat”. Kata Om Rian
memperkenalkan orang di sebelahnya.
“
Ya, Om tertarik dengan minatmu Zafran. Kamu bisaq melukis dan karyamu bisa
dipamerkan dalam pameran lukisan minggu depan”. Dia tersenyum ramah.
“
Apakah aku sedang bermimpi?” kata Zafran sambil menepuk pipinya. “
Arrghhhh….sakit”, rintihnya.
“
Tidak, ini nyata Zafran. Bahkan papa bangga mempunyai anak yang kreatif”.
“
Benarkah?” ucapannya girang.
“
Iya. Tapi ingat unsur lukisannya tidak semuanya darah!”
“
Oke pa”
Aku
dan Zafran saling berpandangan dan entah apa, kita tertawa bersama-sama.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar