Minggu, 19 Oktober 2014

Cerpen sejarah dan motivasi gue gan :)

Tetesan Darah
                                              
            Dia Zafran. Aku mengenalnya baik. Bahkan sahabatku. Kesehariannya dia hanya berfikir. Terkadang aku kesal dengan sifatnya sebagai pemikir. Tapi aneh. Kebencian tidak pernah ada. Menurutku dia unik. Mungkin itu yang membuatku dekat dengannya. 6 tahun bukan waktu yang singkat. Cukup untuk mengenal tentang dirinya. Dia nakal. Tapi hatinya selalu baik. Aku yakin itu. Tapi mereka tidak percaya. Bahkan membencinya. Pernah suatu hari dia bercerita.
“…aku suka balapan mobil. Tapi aku tidak suka pemenangnya. Aku hanya suku kalau mobil-mobil yang bertabrakan, apalagi kalau ada mobil bergesekan terus berakhir dengan kebakaran, itu menyenangkan bagiku…”
Aku kaget. Kecelakaan ? Aku membenci itu. Mungkin beda dengan si misterius Zafran . Dia gila. Ide gila Pemikiran gila. Tapi aku mengaguminya. Aneh. Ya betul. Dan masih banyak hal gila yang dia ceritakan padaku. Aku tidak bias mengikutinya. Dia terlalu aneh. Satu dari 1000 orang mungkin tidak ada yang seperti dia. Hanya ada satu dari Zafran-Zafran yang ada. Ya, hanya dia.
 “ Nonton bioskop yuk nanti malam ?,” dia datang kepadaku.
“ Ajak saja yang, lain!”
“ Harus kamu!”
“ Daripada film bioskop, tuh sinetron banyak di TV ?”.
“ Aku benci sinetron dengan tema yang selalu cinta. Selalu cinta, cinta, dan cinta. Pasti semua sinetron mengandung unsur cinta. Mengapa nggak pembunuhan? Perang? Kekerasan? Atau apakah yang lain”.
Sudah itu kebiasaannya. Akupun maklum. 17 tahun usianya. Dia tetap sama. Tidak pernah mau mengenal cinta. Seakan dihidupnya tidak mau tertoreh rasa cinta. Banyak yang ku sangka. Jiwa apa yang ada di jazadnya ? Arti apa yang terselip diperkataannya? Dan apa yang ada di hatinya?
“ Oke, aku bisa”.
***
Malam telah datang. Malas kulangkahkan kaki ini. Demi sahabat. Aku pun rela. Film itu menyiksaku. Tapi dia menikmatinya. Darah! Peperangan! Pertempuran! Film aksi yang kubenci. Aku merasa mual. Ingin keluar. Tapi ragu. Ku tahan. Ku tutup mataku hingga film itu usai. Syukurlah. Aku masih kuat.
“ Harusnya kamu ajak orang lain Fran, bukan aku !” keluhku.
“ Kenapa? Takut lihat darah? Mual? Hahaha….” Dia tertawa mengejekku. Sial. Diri ini terlihat bodoh. Dia terus menertawaiku. Aku semakin muak.
“  Bukan! Kita beda! Kesenangan yang berbeda pula!” sanggahku.
“ Kita satu jiwa, meski kita beda”.
Terlalu pintar dia untuk menanggapinya. Aku terdiam. Membiarkan suasana ini. Dia mengabaikan. Aku pun juga. Entahlah, kebiasaan ini berlanjut. Menekuni diriku sendiri. Duniaku sendiri. Bukan Zafran. Bukan keanehan. Mungkin ada. Mungkin juga tidak ada.
“ Aku bosan dengan tangan ini, hati ini, mata ini, kaki ini, dan pikiran ini. Tangan ini selalu menginginkan perubahan. Hati ini ingin berteriak bebas. Mata ini ingin memandang lebih jauh…” katanya tiba-tiba. Aku dibuatnya bingung. Kata ini tercekat. Apa yang sebenarnya dia inginkan? Terlalu rumit. Singkat. Tapi membutuhkan pemikiran.
“ Kadang kita tidak terima. Tentang takdir. Tentang hidup kita. Aku juga, tapi kita harus menerimanya. Aku tahu sifatmu. Jangan coba untuk membodohiku!”
“ Tidak! Aku hanya berfikir…” ucapannya menggantung.
Tidak dilanjutkan. Aku malas. Terlalu serius dia menanggapinya. Sebuah bintang yang tak nyala. Terselubung. Tersembunyi dalam hati sanubari manusia. Aku menggumannya. Entah untuk apa, yang pasti bukan untuk sebuah nilai.
1 tahun berlalu.
            Aku pergi. Meninggalkannya. Tanpa tahu keadaannya. Dan sekarang aku kembali. Demi dia. Demi Zafran sahabatku. Ku rindu candanya. Tawanya. Dan hal aneh pada dirinya. Namun mengecewakan, Dia telah menjelma menjadi sebuah patung yang bernyawa. Aku rasa itu hanya perasaanku. Tidak ini nyata. Berhari-hari kutangkap keanehan itu. Dia tidak bergerak. Dan pandangan matanya tersorot pada satu titik. Aku yakin itu. Aku ingin bermain lagi dengannya. Ku coba menggoda lamunannya. Kugelitikan jari ini di tubuhnya. Dia tetap berpatung. Ah, aku kehabisan ide. Gerangan apa yang membelitnya?
***
            Hari berganti tanpa ada perubahan. Aku rasa. Zafran belum makan atau minum. Terbukti. Di sana tergeletak beberapa mangkok nasi dan sayur yang telah basi. Aku tidak yakin dia bertahan. Ternyata salah. Dia lebih kuat dari yang kusangka. Hari ini aku mengunjunginya lagi. Berharap dia kembali normal. Masih sama. Tidak ada gerakan. Aku semakin percaya. Dia tidak bergeming. Mengacuhkanku. Mengacuhkan semua orang yayng peduli kepadanya. Orang tuanya pun telah menyerah. Keras kepala, pikirku. Sudah! Mungkin ini cara diam dalam kebisuannya.
“  Aku ingin terbang, merasakan indahnya angkasa, dan merasa tidak pernah ada,” bisiku pada telinga kanannya. Aku percaya kekuatan kata itu. Kata yang sering keluar dari mulutnya.
“ Kau telah mencuri hatiku Tian!” katanya geram.
Lalu diam. Berpatung kembali. Ku biarkan. Aku bersorak dalam hati . Dia mendengarkanku. Kembali hening. Dan terasa hampa.
1 jam kemudian. Tiba-tiba Zafran jatuh dan tidak sadarkan diri. Aku kaget. Aku khawatir dengan keadaannya. Segera aku dan om Rian melarikan Zafran ke rumah sakit. Tubuhnya ber-es. Mulutnya terlihat pucat dan kering. Kelopak matanya cekung dan hitam. Dia terlalu lelah. Mulut ini terus berucap doa. Berharap berbuah bahagia. Aku tidak tahu ini sadar atau tidak. Ku lihat Zafran menitihkan air mata. Dalam mata tertutupnya? Apakah mungkin? Ku tepis. Mungkin ini hanya halusinasi berlebihanku saja. Sampai di rumah sakit.  Zafran mendapat perawatan. Dalam hitungan detik tubuh itu telah dipenuhi berbagai selang. Aku meringis. Tidak tega. Aku dan dia terlalu dekat. Diri ini bias merasakan penderitaannya. Sayang, mata ini hanya bisa memandang di balik kaca.
3 jam berlalu
Degup jantung ini bertambah. Kekhawatiran mengurungku. Keadaanya membuatku menangis. Aku tidak kuat. Lemas. Ku pacu langkahku. Tergesa. Ini aneh. Aku menerobos kamarnya. Melanggar hak pribadinya. Tuhan, maafkan. Aku khilaf. Aku yakin akan kutemukan kuncinya disini. Lempar kanan. Lempar kiri. Buku, barang dan sebagainya bertabrakan. Zafran, maaf aku harus melakukan ini. Aku mendesah. Secarik kertas merayuku. Aku tergoda. Ku dekati. Tangan ini merinding. Dingin dan berkeringat. Ku raih. Astaga! Kertas ini bernoda. Bercak merah. Ku cium baunya. Ya allah, darah! Darah bertetes menghiasinya. Dia menyiksa dirinya sendiri. Terlalu menderitakah dia? Darah itu memenuhi setiap ruang di kertas ini.
Zafran, itu namaku. Aku nggak kece, tapi boleh di bilang kece.
Pemberani, penuh kejutan. Masih banyak lagi. Aku mencintai diriku.
Mencintai jiwaku. Dan terlalu mencintai zafranku.
Aku tersenyum getir. Aku semakin yakin dia menyembunyikan sesuatu selama kepergianku. Kulihat ke bawah. Ini berbeda.
Bukan tentang sebuah rasa
Tentang rasa dan merasakan
Menurut berkecap kehidupan
Aku bertahta senja, berharap nirwana
Yang sama, terabadi di pigura kaca
Tuhan, kehidupan ini mestikah berjalan?
Sungguh kekuatan tak mampuberkeajaiban
Seonggok rasa ini, Secerah harapan ini
Sejernih embun di pagi hari
Haruskah kulalui?
Entah nadi, entah apa yang kurasa
Berdarah membelenggu nyawa
Aku menjilatnya!

Aku tidak mengerti. Aku tidak paham. Arti itu tersembunyi dalam katanya. Apakah dia ingin mati dengan memotong saluran nadinya? Aku bertahta senja, berharap nirwana. Apakah dia bosan dengan perbedaannya? Tuhan kehidupan ini mestikah berjalan? Apakah dia ingin berubah? Sungguh kekuatan tak mampu berkeajaiban. Makna tersirat yang tidak bisa ku baca. Aku bergegas pergi. Ku simpan kertas itu.
“ Zafran, Zafran. Kenapa sih kamu itu nggak cerita sama aku? Harusnya kita saling terbuka. Tidak tertutup seperti ini! Kamu bilang, kita satu jiwa meski kita berbeda. Tapi mana buktinya? Kamu berkhianat!” kataku menanggapi keluhannya.
***
            Semburat merah bertakbir di ufuk timur. Aku bergegas pergi. Ku langkahkan kaki ini dengan cepat. Zafran, Zafran, dan Zafran yang ada di pikiranku. Aku menyebut namanya sepanjang jalan. Aku terlihat gila. Orang-orang memandangiku penuh selidik. Bahkan sebagian ada yang memalingkan wajahnya. Sebagian lagi meludah dengan jijik. Tidak masalah. Aku tidak terbebani oleh semua itu. Sampai di rumah sakit, ku lihat doctor dan Om Rian sedang membicarakan sesuatu. Tidak kuperhatikan. Langsung saja ku temui Zafranyang masih terbaring lemah. Matanya masih tertutup. Dia belum sadarkan diri. Ku pegang tangannya dengan kedua tanganku. Kudekap. Kualiri rasa persahabatan kita berdua. Kusematkan kisah persahabatan kita berdua. Syukurlah, tidak lama kemudian dia sadar. Lama kita saling berpandangan. Tidak ada yang membuka mulut. Tidak tau apa yang harus ditanyakan .
“ Zafran, apa sih yang sebenarnya kamu inginkan?”
“ Aku bosan dan ingin mati!”
“ Letakan khayalanmu! Seluruh dunia adalah kematian yang menunggu.”
“ Jangan pernah kau ikut ambil bagian dengan bayangan semu yang terbias membiru. Kau berbicara dengan matamu tapi kau berkhianat dengan hatimu. Aku tahu itu, Tian!”
“ Apakah jiwamu telah mati? Hanya karena darah? Parah!” balasku tak kalah sengitnya. Dia berhenti sejenak. Memicingkan mata. Dan teringat sesuatu.
“ Katanya kita bebas berekspresi? Arrghhhh…hanya bayang semu yang palsu! Tian, aku mohon kembalikan kertas itu!”
Aku diam. Lama. Dia menunggu. Cemas. Aku sengaja membiarkan ini semua. Dia semakin muak dengan tingkahku. Aku yakin dia kesal. Aku yakin dia marah dengan sikapku. Tidak mengapa, bagiku. Entah baginya.
“ Tian!” dia menggertakku.
“ Fran, kenapa sih kamu nggak cerita masalahmu? Apa kamu sudah tidak menganggapku sebagai sahabatmu lagi? Ucapanmu waktu itu hanya sandiwara belaka!” sekarang dia yang terdiam. Merangkai kata yang tepat. Menatapku lama. Mendengus. Aku menunggunya. Pancingan itu berhasil.

“ Aku hanya ingin…”
“ Ingin apa?” desakku.
Dia mulai membuka diri “kamu tahukah tetesan darah itu?”
“ Ya”.
“ Aku mencoba melukis dengan darah”.
“ Melukis dengan darah?” ulangku.
“ Darah? Ya, aku ingin berkarya dengan tubuhku. Aku ingin kelak jika aku meninggal. Orang-orang akan mengenangku melalui darahku yang tertuang di atas kanvas itu. Namun sayang kedua orang tuaku membentak bahkan mengurungku di kamar. Aku berfikir, mungkin jika aku mati aku bisa dengan leluasa berimajinasi”.
“ Itu tidak mungkin!”
“ Tapi mungkin bagiku”.
“ Huh dasar keras kepala”. Balasku kesal.
“ Tidak mengapa”. Balasnya dingin.
Tiba-tiba Om Rian masuk diiringi seseorang yang tidak kukenal. Dia tersenyum ramah kepadaku dan Zafran. Lalu merapat dan membaur bersamaku dan Zafran.
“ Zafran, kenalkan ini adalah Om  Edmund. Dia pemilik gedung pameran sekaligus pelukis yang hebat”. Kata Om Rian memperkenalkan orang di sebelahnya.
“ Ya, Om tertarik dengan minatmu Zafran. Kamu bisaq melukis dan karyamu bisa dipamerkan dalam pameran lukisan minggu depan”. Dia tersenyum ramah.
“ Apakah aku sedang bermimpi?” kata Zafran sambil menepuk pipinya. “ Arrghhhh….sakit”, rintihnya.
“ Tidak, ini nyata Zafran. Bahkan papa bangga mempunyai anak yang kreatif”.
“ Benarkah?” ucapannya girang.
“ Iya. Tapi ingat unsur lukisannya tidak semuanya darah!”
“ Oke pa”
Aku dan Zafran saling berpandangan dan entah apa, kita tertawa bersama-sama.

***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar