Minggu, 03 Mei 2015

Indonesia merdeka

Tanahku, engkau telah memakmurkan musuhku
Nadiku, engkau telah menghidupi hidup musuhku
Darahku, engkau telah tersia-siakan mati karena hasratku
Tulangku, engkau telah remuk oleh tirani musuhku

Lebih dari seratus tahun aku mengadu
Tapi yang tersaji hanyalah peluh dan debu
Dan wajah-wajah sayu serta bisu

Lebih dari seratus tahun aku memakna
Angkat senjata dan dan bergerilya
Tapi tak jua aku dapat berteriak merdeka

Kejayaan apa yang dapat kurasa jika derita tak kunjung reda?
Adakah waktu untuk dapat kuteriakkan “Indonesia merdeka”?
Dan apakah nenek moyangku yang telah mati suatu saat nanti akan dijadikan kusuma bangsa?
Aku ingin menagih adil dari Tuhan, tapi tidakkah keinginanku ditolak-Nya?
Tidak! Tuhanku menjawab derita yang berkepanjangan!

Aku sudah hidup lebih dari seratus tahun
Kini aku akan menunjukkan padamu perjalanan negeriku:
Negeriku aman tenteram tanpa campur tangan
Hingga suatu ketika, wajah bermuka dua datang mengembara
Awalnya kami bersaudara
Tapi topeng selalu untuk bersandiwara
Dan kami: SENGSARA!

Tiga ratus tahun negeriku hidup di lubang buaya
Lalu, setelah lepas dari kandang buaya negeriku hidup dalam naungan sakura
Namun bukankah keindahan yang negeriku rasakan
Sakura membuat negeriku lebih sengsara daripada lubang buaya
Tapi, putera negeriku yang gagah dan berani melawannya
Sama seperti lawannya, putera negeriku memainkan drama dalam sandiwara
Hingga negeriku meniti tanggga menuju merdeka

Cerita merdeka itu dimulai dari sini:
Soekarno versus Sukarni
Golongan tua versus golongan muda yang tak bisa berkompromi
Namun Rengasdengklok menjadi titik cerah bersatunya negeri ini
Tanggal tujuh belas Agustus proklamasi telah berkumandang
Sangsaka merah putih telah bertahta di angkasa
Lagu Indonesia Raya telah dinyanyikan
Dan kami sama-sama berteriak: MERDEKA!

Kami lepas!
Kami bebas!