EMPAT AJARAN dan KERTAS MIMPI
PEMUDA ADALAH PEMBANGUN
SEKALIGUS PERUNTUH BANGSA
***
ü Ajaran pertama: Tidak ada yang
bertanya, “Untuk apa kau dilahirkan?” yang ada hanyalah kekuatan dalam jiwa, bahwa kau telah ada.
Aku adalah
korban. Perabadan dunia yang semakin maju menyingkirkan keberadaanku. Harus
dengan apa kutunjukkan bahwa aku ada? Harus dengan apa kutunjukkan bahwa aku
bukanlah seonggok daging yang hanya punya nama? Yang kuat akan menang, yang
lemah akan kalah. Hukum rimba yang berlaku untuk manusia!
Aku
papa. Tak berayah tak berbunda. Aku
adalah anak alam, yang berpindah-pindah tempat untuk mencari arti kehidupan.
Hingga pada akhirnya takdir mendamparkanku di keluarga kolong jembatan.
Berpindah-pindah tempat, dari jalanan, angkringan, lesehan, trotoar dan akhirnya
bersinggah di keluarga penyapu jalanan. Ya, aku sekarang telah berayah dan
berbunda.
Warna
di hidup ini bersketsa buram di benakku. Keindahan perabadan ini hanya hitam
putih di mataku. Perabadan yang tersayat! Perabadan yang terluka! Perabadan yang
membawa sengsara! Kepongahan dan kesombongan yang merajalela!
Aku
muak dengan apa-apa yang serba palsu. Orasi palsu. Janji palsu. Dan baru-baru
ini heboh dengan kampanye palsu. Argghh! Bahkan senyum palsunya Monalisa
terduplikat di mata setiap orang yang memandangku. Aku marah dan aku pasrah.
Tuhanku tahu apa yang lebih indah.
***
ü Ajaran kedua: Jangan takut jika kau
benar. Orang lain boleh berkomentar apapun tentang dirimu, tapi ingat: hanya
kamu yang tahu tentang dirimu.
“Anak miskin tidak pantas sekolah”
“Cuihh, abu kotor!”
“Sekolah dengan beasiswa aja bangga. Apa loe
lihat-lihat? Mau marah? Nggak terima sama hinaan kita”
“Tuh bersihkan saja jalanan depan sekolah kita,
kelihatannya kotor sekali, hahahah…”
Cacian, makian dan hinaan adalah
upah sekolahku. Ini tidak adil! Mukaku memerah marah. Tanganku menggenggam
luapan amarah. Tapi, apa dayaku untuk melawan? Akhlak generasi muda yang menuju
kehancuran!
Setiap
waktu adalah waktu untuk belajar. Telah dianugerahkan padaku lima panca indra yang sempurna. Maka, aku
belajar dari apa yang aku lihat, apa yang aku dengar, dan apa yang aku rasakan.
Dimana aku melihat keegoisan, di situ aku belajar untuk berlaku egois. Dan
parahnya, perabadan telah mengajari manusia kaya raya, kaya nafsu, kaya
duniawi, dan lebih parah: kaya jabatan! Aku heran dan aku lebih terheran-heran
ketika menyaksikan kesombongan tersirat dalam bingkai kepalsuan.
Jangan
salahkan! Aku miskin. Aku tak berharta tak berkharisma. Aku tak berkuasa. Aku
tak berpejabatan. Aku tak menikmati kemewahan. Sialnya, aku ditakdirkan! Aku
dihina, aku diam saja. Aku disiksa, sudah biasa. Orang yang lemah tertakdir
untuk kalah. Ya!
***
ü Ajaran ketiga: Simpanlah tenagamu untuk
hal yang berguna.
“Heh, sampah kotor! Bayar pajak!” bentak orang
berbadan besar di hadapanku. Zamri, itulah namanya. Orang paling kejam dan
orang paling sombong dalam daftar riwayat orang-orang sombong.
Yang bisa aku lakukan hanyalah diam. Diam dalam
kesengsaraan! Tubuhku bergetar karena tak sepersen pun uang dapat
kupersembahkan.
“Heh, dungu! Cepat bayar pajak!” intonasi nada yang
sama dengan amukan alam gunung liar.
“Ini sekolah, bukan kantor pajak” entah dari mana
bantahan itu kulontarkan. Dan aku segera berlalu dari hadapan gorilla lapar bernama
Zamri itu.
“Berani-beraninya loe bilang itu ke gue? Siapapun
yang lewat sini harus pajak! Tahu loe!” Zamri menantang tatapan mataku.
“Nggak tuh, gue nggak tahu” kataku asal.
“Loe nantangin gue, hah?” Zamri mendekatiku. Tangan
kanannya membelit krah bajuku putihku. Sial! Pemalakan ini harus dihentikan!
“Arrghhh” tiba-tiba saja sebuah pukulan bersarang di
perutku.
“Masih berani loe nantangin gue, hah?” kata Zamri
yang terus menerorku dengan badan besarnya. Bertubi-tubi pukulan demi pukulan
bersarang di perutku. Zamri yang kesetanan terus menerus menendang, memukul dan
menonjok di bagian mana saja asal sasarannya adalah aku. Berkali-kali kurasakan
mual di perutku. Bibirku membiru. Dan dengan brutalnya, Zamri terus berlatih
tinju di perutku. Oh Tuhan, apakah generasi pengubah bangsaku sebagian besar
berperilaku seperti orang tak berpendidikan? Menindas yang lemah dan merasa
paling kuat?
***
ü Ajaran keempat: Doa dan usaha.
Mukaku tak karuan. Lebam hitam.
Semua memar-memar. Mataku nanar. Tanganku non kekuatan. Kakiku tak kuat untuk berjalan.
Parah! Aku mungkin berbuat salah!
Tuhan,
inikah derita hamba sahaya? Setiap detiknya adalah luka? Setiap menitnya
tercipta untuk dihina? Setiap jamnya terpaksa harus disiksa? Aku benci rekayasa
tersamar ini! Tuhan? Aku juga ingin berfoya-foya. Menghujan-hujankan uang.
Mengitar-ngitari pesawat dan melayang. Jujur. Aku bosan tercipta.
“Zahdan, kamu ini berkelahi dengan siapa lagi, nak?
Sudah berapa sering ibu bilang, jangan buat masalah” kata wanita paruh baya
yang telah sudi mengangkatku sebagai anak.
Aku mendengus kesal, “Tapi aku tidak cari gara-gara
Bu! Aku dipalak! Aku tidak akan membiarkan diriku lemah, dalam pelajaran itu
tidak ada yang namanya palak-memalak, Bu. Jadi, tidak ada salahnya kalau aku
melawan!”
Ibuku hanya mengeleng-gelengkan kepala dan terus
menerus menasehatiku dengan sabar, “Jadi itu masalahnya? Kita boleh membela hak
kita, tapi kamu juga harus tahu bahwa kita itu miskin. Ibu sudah tidak tahu
lagi bagaimana mencari pekerjaan. Untuk makan saja kita susah. Ah sudahlah,
pokoknya kamu jangan cari gara-gara dengan siapapun! Apalagi kamu sampai
dikeluarkan dari sekolah itu hanya karena kamu bertengkar. Ingat, ilmu adalah
kunci kesuksesan! Sekolah yang benar, Zahdan!”
Ibu,
tekadmu untuk menghidupiku telah membakar semangatku. Kemiskinanmu kujadikan
penuntun kebaikan dalam setiap perbuatanku. Mulai sekarang aku berjanji padamu
bu, aku akan mewujudkan impianmu. Aku akan belajar, berusaha, dan akan
kuhapuskan kosa kata yang tak berguna. Ini semua karena hutang jasaku padamu:
ayah & ibu, serta pengabdianku untukmu: tanah air tercintaku.
Harta
boleh miskin. Tapi semangat harus kaya. Aku bukan pecundang. Aku adalah
pemenang. Sejak lahir aku telah menang untuk terlahir. Maka sekarang aku akan
berprinsip: Hanya aku yang dapat mengubah
hidupku, bukan orang lain!
***
ü Kertas Mimpi
Dunia ini adalah ironi. Dunia
adalah paradoks terbesar dalam kosa kata berbahasa. Tak ada anggapan bahwa hak
ada karena kewajiban. Aku ragu. Jangan-jangan buntutnya adalah akhir zaman? Oh ya, aku lupa satu hal, bahwa
isyarat adalah kemunafikan. Buangan-buangan adalah kekecewaan. Raungan-raungan
adalah kekesalan. Dan aku menggenggam sebuah perasaan. AKU HARUS PUNYA MIMPI!
Orang besar adalah sang pemimpi.
Dimana logika dan imajinasi tak bisa berjalan secara berdampingan. Dan akan
kubuktikan. Logika hanya akan membawa A kepada B, sedangkan imajinasi akan
membawa kemanapun aku mau. Orang awam itu tak bisa disalahkan karena mereka tak
punya impian. Mimpi untuk menjadi sang pemimpi. Sang pemimpi untuk menjadi raja
mimpi. Tapi aku harus menjadi peraih mimpi. Ya.
Kugali pondasi mimpiku. Kumulai
dengan hal-hal yang tidak sempat terisyaratkan. Komentar orang tak kuhiraukan.
Aku terus membuat batu loncatan. Dari dasar hingga keinginan terbesar. Dan
tahukah, mimpi apa yang aku buat? Ini mimpi anak jalanan bernama AKU:
1. Aku
ingin menjadi juara pertama dalam pelajaran
2. Aku
ingin berpartisipasi dalam ajang olimpiade matematika
3. Aku
ingin meringankan beban orang tuaku
4. Aku
ingin mempunyai laptop untuk menunjang pembelajaranku
5. …
6. …
Terus kutorehkan semua hal yang
kuinginkan. Sejak saat itu aku mulai bermimpi-mimpi. Berkhayal-khayal. Dari hal
sederhana menjadi hal yang mungkin gila. Tapi, apa ada yang tahu dimana letak
kekuatan Tuhan?
Aku dan mimpiku adalah pasangan
gila. Tak mungkin anak tukang sapu jalanan akan menjadi orang, katanya. Hingga pada akhirnya, mimpi keseratus empat puluh
sembilan…
149. Aku ingin kuliah di luar negeri dengan beasiswa
Dan sungguh malang, mimpi-mimpiku
menjadi bulan-bulanan massa. Berbagai jenis tawa berdengung-dengung di gendang
musikku. Semua orang tertawa atas obsesiku. Semua orang tertawa dengan mimpi
yang mungkin imajinasi halusinasi. Tapi, tawa paradoks itulah yang menjadi bara
api semangatku. Tawa paradoks itulah yang memacu langkahku. Aku berpacu hingga
medan perang itu siap terbuka untukku.
***
Aku bukan pecundang. Aku tidak
hanya membuat mimpi-mimpi hanya untuk dimimpi. Kumantapkan tekadku. Kubakar
semangatku. Kuhargai setiap perjuanganku. Dan yang pasti kudoa dalam setiap
menapaki tangga kesempurnaanku.
Kujadikan buku sebagai temanku.
Kujadikan ilmu sebagai kekasihku. Kujadikan guru sebagai panutanku. Dan
kujadikan orang tua sebagai peganganku. Aku belajar keras. Aku belajar bersikap
keras terhadap dunia, terhadap diriku. Aku tahu, jika aku tidak keras pada
diriku, maka dunialah yang akan keras terhadapku. Aku belajar dan terus
belajar. Kutambah jam belajarku. Kutambah jam doaku. Kuisi butir-butir penyejuk
jiwa dalam hatiku.
Aku mencoba memahami, bukan menghafal.
Aku mencoba mengerti, bukan
berargumentasi. Aku mencoba mempraktekkan, bukan hanya bacaan. Kudalami
rumus-rumus pasti aljabar. Kuteliti rumus-rumus kehidupan. Hingga akhirnya
jerih payahku berbuah kesempurnaan. Aku yang dulunya berjalan lambat kini
melaju cepat. Kutinggalkan garis start dan kugapai garis finish. Yeah. Aku
berhasil mewujudkan impianku yang pertama! Kucoret angka itu dan aku
membuktikan bahwa hatiku memenangkan egoku! Aku akan terus melangkah, dan
kubiarkan kertas mimpiku hanya tinggal coretan yang telah menjadi kenyataan.
***
Dari mimpiku yang pertama aku
beranjak kemimpiku yang kedua, ketiga, keempat… dan seterusnya. Aku tak pernah
menyangkal bahwa aku berubah. Aku menjadi aku, bukan aku tapi AKU.
Kini paradoks pun bergulir padaku.
Sebagai anak jalanan yang malang aku telah diselamatkan. Aku anugerahi akal dan
pikiran.
“Zahdan!” teriak Pak Ahmad di belakangku.
Aku pun menoleh, “Iya Pak, ada apa?” tanyaku.
“Ini, ambillah” Pak Ahmad memberiku gulungan kertas.
Aku bingung, apa isi kertas itu? Dengan tatapan seolah ingin meminta penjelasan
aku pun menerima gulungan kertas itu.
Pak Ahmad tersenyum padaku, “Bacalah”, lalu tanganku
pun perlahan menyusuri tepi kertas itu. Membukanya dan dengan binar mata yang tak
bisa aku jelaskan, mataku berkaca-kaca.
“Ini adalah kesempatan bagus buat mengembangkan
bakat kamu Zahdan, Bapak yakin kamu pasti bisa mengharumkan nama sekolah kita”
Pak Ahmad menepuk-nepuk pundakku.
OLIMPIADE
MATEMATIKA TINGKAT PROVINSI UNTUK SMA
Tuhan, inikah petunjuk-Mu?
***
Sejak
saat pemberitahuan itu aku mulai bersahabat dengan buku-buku tebal. Rumus-rumus
pasti dan hal-hal kebenaran. Intensitas doaku meningkat. Aku ingin berhasil
untuk mewujudkan impianku yang kedua. Aku ingin menjadikan mereka bangga: ayah
dan ibu. Aku tidak mau menjadi produk gagal sebuah pendidikan. Aku tidak mau
menjadi sampah jalanan. Aku ingin mereka bangga. Bangga telah mendidikku.
Bangga telah membangun akhlak budiku. Dan bangga atas nama Tuhanku.
Tanggal
di kertas itu pasti. Tak bertambah, tapi berkurang. Ajang untuk menunjukkan
kemampuan. Ya. Semua akan baik-baik saja, aku pasti bisa!
“Zahdan, anggaplah kesulitan itu sebagai tantangan”
Pak Ahmad memotivasiku sebelum waktu untuk berpacu itu dikumandangkan. Aku
mengangguk takjub. Nyaliku tak jua gentar. Semangatku tak pernah kupadamkan. AKAN KUTUNJUKKAN BAHWA ANAK TUKANG SAPU
JALANAN BUKAN SAMPAH KEHIDUPAN!
Aku
melangkah pasti memasuki ruangan. Tatapan mataku bagai elang yang memburu
mangsanya. Banyak lawan semakin tinggi tantangan. Kuhadapi soal dan
kudengungkan nama Tuhan. Kugoreskan pena dan kutulis kunci pikiran. Aku tak mau
kalah meski aku berstrata bawah. Akan kutunjukkan bahwa aku slalu ada dalam
denyut nadi kehidupan!
3 jam masa berkonsentrasi tlah
dipecahkan. Kutinggalkan soal dan jawaban dengan senyum mengembang. Kutapaki
jalanan dengan kepastian. Dan tanpa disangka-sangka, keajaiban tersembunyi
dalam doa dan harapan. 3 hari kemudian aku dinobatkan sebagai pemenang. Tuhan,
inikah nikmat yang Kau berikan?
***
Uang
hasil lomba itu kugunakan untuk membeli laptop murahan. Meskipun murah tapi aku
bangga, karena itu adalah hasil kerja kerasku sendiri. Bukan hanya menodongkan
tangan meminta bantuan pada orang tua. Aku bangga dan aku akan terus mencoret
kertas mimpi itu hingga yang tersisa hanyalah hamparan kenyataan. Aku terus
menulis mimpi-mimpiku. Hingga tak kusadari kini aku akan mewujudkan mimpiku
yang keseratus empat puluh sembilan. KULIAH
DI LUAR NEGERI! Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku harus berusaha dan
terus berusaha teriring dengan doa. Tanpa disangka-sangka seorang anak tukang
jalanan kini mendapat undangan untuk mengecap gemerlap dunia metropolitan! Aku
berpesta dengan kertas impian kejayaan!
Hari
ini keberangkatanku ke Jepang. Negara impianku. Negara tempat dimana matahari
terbit. Negara tempat dimana bunga sakura tumbuh menawan. Dan negara tempat
dimana semangat hidup tinggi dalam setiap etos kerja yang berpengalaman.
Hari
ini aku akan meninggalkan mereka. Meninggalkan wajah kerutan mereka. Dan
meninggalkan hatiku pada mereka: ayah, ibu. Pagi ini kudapati wajah mereka
sayu. Aku tahu, tidak mudah bagi mereka melepaskanku jauh. Apalagi aku harus
hidup sendiri di negeri orang. Tapi aku tahu, mereka menyayangiku. Hari ini tak
dapat kutahan air mataku. Kudapati restu indah dari mereka adalah
kebahagiaanku.
“Nak, hati-hati di negeri orang. Jangan berbuat
hal-hal yang tidak baik” kata ayahku padaku yang tersedu di dadanya. Ayah
menepuk-nepuk pundakku. Mentransferkan seluruh cinta dan kekuatannya untukku.
Beliau mengusap air mataku dan meyakinkanku: KAMU PASTI BISA! SEMUA AKAN
BAIK-BAIK SAJA. Terimakasih ayah, engkau adalah pelita dalam gelapku.
Lain
dengan ibu. Beliau terisak melepas kepergianku. Aku tidak kuat melihat ibu
menangis. Dan pertahananku pun tak bisa kubendung lagi. Aku kembali menangis
untuk kedua kalinya.
“Nak, jangan lupa sholat ya? Setiap kamu ingin
berbuat sesuatu ingatlah bahwa Allah selalu mengawasi tindakkanmu. Ingatlah
bahwa tujuanmu di sana adalah untuk menuntut ilmu. Ingatlah Nak, kau harus
berhasil! Doa ayah dan ibu akan slalu ada di setiap langkahmu. Jangan buat malu
tanah kita Nak, jadilah pemuda perubah perabadan bangsa!” Ibu mengusap lembut
kepalaku. Lalu, ibu mencium keningku. Orang yang dulunya tidak ada hubungan
darah kini menjadi orang yang sangat berarti dalam hidupku. Orang yang memiliki
separuh jiwa dan ragaku. Ayah, ibu, aku akan slalu mengingatmu. Mengingat semua
yang kau amanatkan padaku karena aku mencintaimu karena Allah, ayah, ibu. Aku
janji, takkan kubiarkan merah putih luntur oleh pesonanya.
“Baik yah, bu, Zahdan pergi dulu. Doakan Zahdan agar
Zahdan berhasil dalam mewujudkan cita-cita ayah dan ibu. Zahdan janji, Zahdan
akan slalu ingat pesan ayah dan ibu. Zahdan minta restu untuk menuntut ilmu
yah, bu” aku berlutut di depan mereka. Aku tulus. Kuucapkan semua dengan penuh
perasaan. Lalu, mereka mendirikanku. Menatap mataku, meyakinkan aku, dan memberi
pelukan cintanya untukku.
“Hati-hati nak!”
***
Kini
aku telah tiba di Negeri Sakura. Dan untuk keseratus empat puluh sembilan
kalinya kembali kucoret mimpiku. Kubuktikan bahwa tulisan yang dulunya mimpi
kini telah berwujud nyata. Tulisan yang dulunya cemohan kini berubah menjadi
kekaguman. Dunia ini berparadoks. Dan dunia ini akan terus berparadoks hingga
massa tak dapat lagi diperhitungkan. Kini, apa yang ingin kalian katakan?
Tertawa? Silakan! Tertawalah akan mimpi-mimpi yang telah kucipta dan kuwujudkan.
Aku akan terima, karena dulunya mimpi itu juga hanya bahan dasar tawa. Tapi
siapa sangka, anak seorang penyapu jalanan kini menjadi generasi perubah
bangsa???