Rabu, 12 November 2014

Cerpen aku kawan, semoga kalian terinspirasi dari cerita ini yaa :)

EMPAT AJARAN dan KERTAS MIMPI

PEMUDA ADALAH PEMBANGUN SEKALIGUS PERUNTUH BANGSA
***
ü  Ajaran pertama: Tidak ada yang bertanya, “Untuk apa kau dilahirkan?” yang ada hanyalah  kekuatan dalam jiwa, bahwa kau telah ada.
            Aku adalah korban. Perabadan dunia yang semakin maju menyingkirkan keberadaanku. Harus dengan apa kutunjukkan bahwa aku ada? Harus dengan apa kutunjukkan bahwa aku bukanlah seonggok daging yang hanya punya nama? Yang kuat akan menang, yang lemah akan kalah. Hukum rimba yang berlaku untuk manusia!
            Aku papa. Tak berayah tak berbunda. Aku adalah anak alam, yang berpindah-pindah tempat untuk mencari arti kehidupan. Hingga pada akhirnya takdir mendamparkanku di keluarga kolong jembatan. Berpindah-pindah tempat, dari jalanan, angkringan, lesehan, trotoar dan akhirnya bersinggah di keluarga penyapu jalanan. Ya, aku sekarang telah berayah dan berbunda.
            Warna di hidup ini bersketsa buram di benakku. Keindahan perabadan ini hanya hitam putih di mataku. Perabadan yang tersayat! Perabadan yang terluka! Perabadan yang membawa sengsara! Kepongahan dan kesombongan yang merajalela!
            Aku muak dengan apa-apa yang serba palsu. Orasi palsu. Janji palsu. Dan baru-baru ini heboh dengan kampanye palsu. Argghh! Bahkan senyum palsunya Monalisa terduplikat di mata setiap orang yang memandangku. Aku marah dan aku pasrah. Tuhanku tahu apa yang lebih indah.
***
ü  Ajaran kedua: Jangan takut jika kau benar. Orang lain boleh berkomentar apapun tentang dirimu, tapi ingat: hanya kamu yang tahu tentang dirimu.
“Anak miskin tidak pantas sekolah”
“Cuihh, abu kotor!”
“Sekolah dengan beasiswa aja bangga. Apa loe lihat-lihat? Mau marah? Nggak terima sama hinaan kita”
“Tuh bersihkan saja jalanan depan sekolah kita, kelihatannya kotor sekali, hahahah…”
Cacian, makian dan hinaan adalah upah sekolahku. Ini tidak adil! Mukaku memerah marah. Tanganku menggenggam luapan amarah. Tapi, apa dayaku untuk melawan? Akhlak generasi muda yang menuju kehancuran!
            Setiap waktu adalah waktu untuk belajar. Telah dianugerahkan padaku  lima panca indra yang sempurna. Maka, aku belajar dari apa yang aku lihat, apa yang aku dengar, dan apa yang aku rasakan. Dimana aku melihat keegoisan, di situ aku belajar untuk berlaku egois. Dan parahnya, perabadan telah mengajari manusia kaya raya, kaya nafsu, kaya duniawi, dan lebih parah: kaya jabatan! Aku heran dan aku lebih terheran-heran ketika menyaksikan kesombongan tersirat dalam bingkai kepalsuan.
            Jangan salahkan! Aku miskin. Aku tak berharta tak berkharisma. Aku tak berkuasa. Aku tak berpejabatan. Aku tak menikmati kemewahan. Sialnya, aku ditakdirkan! Aku dihina, aku diam saja. Aku disiksa, sudah biasa. Orang yang lemah tertakdir untuk kalah. Ya!
***
ü  Ajaran ketiga: Simpanlah tenagamu untuk hal yang berguna.
“Heh, sampah kotor! Bayar pajak!” bentak orang berbadan besar di hadapanku. Zamri, itulah namanya. Orang paling kejam dan orang paling sombong dalam daftar riwayat orang-orang sombong.
Yang bisa aku lakukan hanyalah diam. Diam dalam kesengsaraan! Tubuhku bergetar karena tak sepersen pun uang dapat kupersembahkan.
“Heh, dungu! Cepat bayar pajak!” intonasi nada yang sama dengan amukan alam gunung liar.
“Ini sekolah, bukan kantor pajak” entah dari mana bantahan itu kulontarkan. Dan aku segera berlalu dari hadapan gorilla lapar bernama Zamri itu.
“Berani-beraninya loe bilang itu ke gue? Siapapun yang lewat sini harus pajak! Tahu loe!” Zamri menantang tatapan mataku.
“Nggak tuh, gue nggak tahu” kataku asal.
“Loe nantangin gue, hah?” Zamri mendekatiku. Tangan kanannya membelit krah bajuku putihku. Sial!  Pemalakan ini harus dihentikan!
“Arrghhh” tiba-tiba saja sebuah pukulan bersarang di perutku.
“Masih berani loe nantangin gue, hah?” kata Zamri yang terus menerorku dengan badan besarnya. Bertubi-tubi pukulan demi pukulan bersarang di perutku. Zamri yang kesetanan terus menerus menendang, memukul dan menonjok di bagian mana saja asal sasarannya adalah aku. Berkali-kali kurasakan mual di perutku. Bibirku membiru. Dan dengan brutalnya, Zamri terus berlatih tinju di perutku. Oh Tuhan, apakah generasi pengubah bangsaku sebagian besar berperilaku seperti orang tak berpendidikan? Menindas yang lemah dan merasa paling kuat?
***
ü  Ajaran keempat: Doa dan usaha.
Mukaku tak karuan. Lebam hitam. Semua memar-memar. Mataku nanar. Tanganku non kekuatan. Kakiku tak kuat untuk berjalan. Parah! Aku mungkin berbuat salah!
            Tuhan, inikah derita hamba sahaya? Setiap detiknya adalah luka? Setiap menitnya tercipta untuk dihina? Setiap jamnya terpaksa harus disiksa? Aku benci rekayasa tersamar ini! Tuhan? Aku juga ingin berfoya-foya. Menghujan-hujankan uang. Mengitar-ngitari pesawat dan melayang. Jujur. Aku bosan tercipta.
“Zahdan, kamu ini berkelahi dengan siapa lagi, nak? Sudah berapa sering ibu bilang, jangan buat masalah” kata wanita paruh baya yang telah sudi mengangkatku sebagai anak.
Aku mendengus kesal, “Tapi aku tidak cari gara-gara Bu! Aku dipalak! Aku tidak akan membiarkan diriku lemah, dalam pelajaran itu tidak ada yang namanya palak-memalak, Bu. Jadi, tidak ada salahnya kalau aku melawan!”
Ibuku hanya mengeleng-gelengkan kepala dan terus menerus menasehatiku dengan sabar, “Jadi itu masalahnya? Kita boleh membela hak kita, tapi kamu juga harus tahu bahwa kita itu miskin. Ibu sudah tidak tahu lagi bagaimana mencari pekerjaan. Untuk makan saja kita susah. Ah sudahlah, pokoknya kamu jangan cari gara-gara dengan siapapun! Apalagi kamu sampai dikeluarkan dari sekolah itu hanya karena kamu bertengkar. Ingat, ilmu adalah kunci kesuksesan! Sekolah yang benar, Zahdan!”
            Ibu, tekadmu untuk menghidupiku telah membakar semangatku. Kemiskinanmu kujadikan penuntun kebaikan dalam setiap perbuatanku. Mulai sekarang aku berjanji padamu bu, aku akan mewujudkan impianmu. Aku akan belajar, berusaha, dan akan kuhapuskan kosa kata yang tak berguna. Ini semua karena hutang jasaku padamu: ayah & ibu, serta pengabdianku untukmu: tanah air tercintaku.
            Harta boleh miskin. Tapi semangat harus kaya. Aku bukan pecundang. Aku adalah pemenang. Sejak lahir aku telah menang untuk terlahir. Maka sekarang aku akan berprinsip: Hanya aku yang dapat mengubah hidupku, bukan orang lain!
***
ü  Kertas Mimpi
Dunia ini adalah ironi. Dunia adalah paradoks terbesar dalam kosa kata berbahasa. Tak ada anggapan bahwa hak ada karena kewajiban. Aku ragu. Jangan-jangan buntutnya adalah akhir zaman? Oh ya, aku lupa satu hal, bahwa isyarat adalah kemunafikan. Buangan-buangan adalah kekecewaan. Raungan-raungan adalah kekesalan. Dan aku menggenggam sebuah perasaan. AKU HARUS PUNYA MIMPI!
Orang besar adalah sang pemimpi. Dimana logika dan imajinasi tak bisa berjalan secara berdampingan. Dan akan kubuktikan. Logika hanya akan membawa A kepada B, sedangkan imajinasi akan membawa kemanapun aku mau. Orang awam itu tak bisa disalahkan karena mereka tak punya impian. Mimpi untuk menjadi sang pemimpi. Sang pemimpi untuk menjadi raja mimpi. Tapi aku harus menjadi peraih mimpi. Ya.
Kugali pondasi mimpiku. Kumulai dengan hal-hal yang tidak sempat terisyaratkan. Komentar orang tak kuhiraukan. Aku terus membuat batu loncatan. Dari dasar hingga keinginan terbesar. Dan tahukah, mimpi apa yang aku buat? Ini mimpi anak jalanan bernama AKU:
1.      Aku ingin menjadi juara pertama dalam pelajaran
2.      Aku ingin berpartisipasi dalam ajang olimpiade matematika
3.      Aku ingin meringankan beban orang tuaku
4.      Aku ingin mempunyai laptop untuk menunjang pembelajaranku
5.     
6.     
Terus kutorehkan semua hal yang kuinginkan. Sejak saat itu aku mulai bermimpi-mimpi. Berkhayal-khayal. Dari hal sederhana menjadi hal yang mungkin gila. Tapi, apa ada yang tahu dimana letak kekuatan Tuhan?
Aku dan mimpiku adalah pasangan gila. Tak mungkin anak tukang sapu jalanan akan menjadi orang, katanya. Hingga pada akhirnya, mimpi keseratus empat puluh sembilan…
149. Aku ingin kuliah di luar negeri dengan beasiswa
Dan sungguh malang, mimpi-mimpiku menjadi bulan-bulanan massa. Berbagai jenis tawa berdengung-dengung di gendang musikku. Semua orang tertawa atas obsesiku. Semua orang tertawa dengan mimpi yang mungkin imajinasi halusinasi. Tapi, tawa paradoks itulah yang menjadi bara api semangatku. Tawa paradoks itulah yang memacu langkahku. Aku berpacu hingga medan perang itu siap terbuka untukku.
***
Aku bukan pecundang. Aku tidak hanya membuat mimpi-mimpi hanya untuk dimimpi. Kumantapkan tekadku. Kubakar semangatku. Kuhargai setiap perjuanganku. Dan yang pasti kudoa dalam setiap menapaki tangga kesempurnaanku.
Kujadikan buku sebagai temanku. Kujadikan ilmu sebagai kekasihku. Kujadikan guru sebagai panutanku. Dan kujadikan orang tua sebagai peganganku. Aku belajar keras. Aku belajar bersikap keras terhadap dunia, terhadap diriku. Aku tahu, jika aku tidak keras pada diriku, maka dunialah yang akan keras terhadapku. Aku belajar dan terus belajar. Kutambah jam belajarku. Kutambah jam doaku. Kuisi butir-butir penyejuk jiwa dalam hatiku.
Aku mencoba memahami, bukan menghafal. Aku mencoba mengerti,  bukan berargumentasi. Aku mencoba mempraktekkan, bukan hanya bacaan. Kudalami rumus-rumus pasti aljabar. Kuteliti rumus-rumus kehidupan. Hingga akhirnya jerih payahku berbuah kesempurnaan. Aku yang dulunya berjalan lambat kini melaju cepat. Kutinggalkan garis start dan kugapai garis finish. Yeah. Aku berhasil mewujudkan impianku yang pertama! Kucoret angka itu dan aku membuktikan bahwa hatiku memenangkan egoku! Aku akan terus melangkah, dan kubiarkan kertas mimpiku hanya tinggal coretan yang telah menjadi kenyataan.
***
Dari mimpiku yang pertama aku beranjak kemimpiku yang kedua, ketiga, keempat… dan seterusnya. Aku tak pernah menyangkal bahwa aku berubah. Aku menjadi aku, bukan aku tapi AKU.
Kini paradoks pun bergulir padaku. Sebagai anak jalanan yang malang aku telah diselamatkan. Aku anugerahi akal dan pikiran.
“Zahdan!” teriak Pak Ahmad di belakangku.
Aku pun menoleh, “Iya Pak, ada apa?” tanyaku.
“Ini, ambillah” Pak Ahmad memberiku gulungan kertas. Aku bingung, apa isi kertas itu? Dengan tatapan seolah ingin meminta penjelasan aku pun menerima gulungan kertas itu.
Pak Ahmad tersenyum padaku, “Bacalah”, lalu tanganku pun perlahan menyusuri tepi kertas itu. Membukanya dan dengan binar mata yang tak bisa aku jelaskan, mataku berkaca-kaca.
“Ini adalah kesempatan bagus buat mengembangkan bakat kamu Zahdan, Bapak yakin kamu pasti bisa mengharumkan nama sekolah kita” Pak Ahmad menepuk-nepuk pundakku.
OLIMPIADE MATEMATIKA TINGKAT PROVINSI UNTUK SMA
Tuhan, inikah petunjuk-Mu?
***
            Sejak saat pemberitahuan itu aku mulai bersahabat dengan buku-buku tebal. Rumus-rumus pasti dan hal-hal kebenaran. Intensitas doaku meningkat. Aku ingin berhasil untuk mewujudkan impianku yang kedua. Aku ingin menjadikan mereka bangga: ayah dan ibu. Aku tidak mau menjadi produk gagal sebuah pendidikan. Aku tidak mau menjadi sampah jalanan. Aku ingin mereka bangga. Bangga telah mendidikku. Bangga telah membangun akhlak budiku. Dan bangga atas nama Tuhanku.
            Tanggal di kertas itu pasti. Tak bertambah, tapi berkurang. Ajang untuk menunjukkan kemampuan. Ya. Semua akan baik-baik saja, aku pasti bisa!
“Zahdan, anggaplah kesulitan itu sebagai tantangan” Pak Ahmad memotivasiku sebelum waktu untuk berpacu itu dikumandangkan. Aku mengangguk takjub. Nyaliku tak jua gentar. Semangatku tak pernah kupadamkan. AKAN KUTUNJUKKAN BAHWA ANAK TUKANG SAPU JALANAN BUKAN SAMPAH KEHIDUPAN!
            Aku melangkah pasti memasuki ruangan. Tatapan mataku bagai elang yang memburu mangsanya. Banyak lawan semakin tinggi tantangan. Kuhadapi soal dan kudengungkan nama Tuhan. Kugoreskan pena dan kutulis kunci pikiran. Aku tak mau kalah meski aku berstrata bawah. Akan kutunjukkan bahwa aku slalu ada dalam denyut nadi kehidupan!
3 jam masa berkonsentrasi tlah dipecahkan. Kutinggalkan soal dan jawaban dengan senyum mengembang. Kutapaki jalanan dengan kepastian. Dan tanpa disangka-sangka, keajaiban tersembunyi dalam doa dan harapan. 3 hari kemudian aku dinobatkan sebagai pemenang. Tuhan, inikah nikmat yang Kau berikan?
***
            Uang hasil lomba itu kugunakan untuk membeli laptop murahan. Meskipun murah tapi aku bangga, karena itu adalah hasil kerja kerasku sendiri. Bukan hanya menodongkan tangan meminta bantuan pada orang tua. Aku bangga dan aku akan terus mencoret kertas mimpi itu hingga yang tersisa hanyalah hamparan kenyataan. Aku terus menulis mimpi-mimpiku. Hingga tak kusadari kini aku akan mewujudkan mimpiku yang keseratus empat puluh sembilan. KULIAH DI LUAR NEGERI! Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku harus berusaha dan terus berusaha teriring dengan doa. Tanpa disangka-sangka seorang anak tukang jalanan kini mendapat undangan untuk mengecap gemerlap dunia metropolitan! Aku berpesta dengan kertas impian kejayaan!
            Hari ini keberangkatanku ke Jepang. Negara impianku. Negara tempat dimana matahari terbit. Negara tempat dimana bunga sakura tumbuh menawan. Dan negara tempat dimana semangat hidup tinggi dalam setiap etos kerja yang berpengalaman.
            Hari ini aku akan meninggalkan mereka. Meninggalkan wajah kerutan mereka. Dan meninggalkan hatiku pada mereka: ayah, ibu. Pagi ini kudapati wajah mereka sayu. Aku tahu, tidak mudah bagi mereka melepaskanku jauh. Apalagi aku harus hidup sendiri di negeri orang. Tapi aku tahu, mereka menyayangiku. Hari ini tak dapat kutahan air mataku. Kudapati restu indah dari mereka adalah kebahagiaanku.
“Nak, hati-hati di negeri orang. Jangan berbuat hal-hal yang tidak baik” kata ayahku padaku yang tersedu di dadanya. Ayah menepuk-nepuk pundakku. Mentransferkan seluruh cinta dan kekuatannya untukku. Beliau mengusap air mataku dan meyakinkanku: KAMU PASTI BISA! SEMUA AKAN BAIK-BAIK SAJA. Terimakasih ayah, engkau adalah pelita dalam gelapku.
            Lain dengan ibu. Beliau terisak melepas kepergianku. Aku tidak kuat melihat ibu menangis. Dan pertahananku pun tak bisa kubendung lagi. Aku kembali menangis untuk kedua kalinya.
“Nak, jangan lupa sholat ya? Setiap kamu ingin berbuat sesuatu ingatlah bahwa Allah selalu mengawasi tindakkanmu. Ingatlah bahwa tujuanmu di sana adalah untuk menuntut ilmu. Ingatlah Nak, kau harus berhasil! Doa ayah dan ibu akan slalu ada di setiap langkahmu. Jangan buat malu tanah kita Nak, jadilah pemuda perubah perabadan bangsa!” Ibu mengusap lembut kepalaku. Lalu, ibu mencium keningku. Orang yang dulunya tidak ada hubungan darah kini menjadi orang yang sangat berarti dalam hidupku. Orang yang memiliki separuh jiwa dan ragaku. Ayah, ibu, aku akan slalu mengingatmu. Mengingat semua yang kau amanatkan padaku karena aku mencintaimu karena Allah, ayah, ibu. Aku janji, takkan kubiarkan merah putih luntur oleh pesonanya.
“Baik yah, bu, Zahdan pergi dulu. Doakan Zahdan agar Zahdan berhasil dalam mewujudkan cita-cita ayah dan ibu. Zahdan janji, Zahdan akan slalu ingat pesan ayah dan ibu. Zahdan minta restu untuk menuntut ilmu yah, bu” aku berlutut di depan mereka. Aku tulus. Kuucapkan semua dengan penuh perasaan. Lalu, mereka mendirikanku. Menatap mataku, meyakinkan aku, dan memberi pelukan cintanya untukku.
“Hati-hati nak!”
***

            Kini aku telah tiba di Negeri Sakura. Dan untuk keseratus empat puluh sembilan kalinya kembali kucoret mimpiku. Kubuktikan bahwa tulisan yang dulunya mimpi kini telah berwujud nyata. Tulisan yang dulunya cemohan kini berubah menjadi kekaguman. Dunia ini berparadoks. Dan dunia ini akan terus berparadoks hingga massa tak dapat lagi diperhitungkan. Kini, apa yang ingin kalian katakan? Tertawa? Silakan! Tertawalah akan mimpi-mimpi yang telah kucipta dan kuwujudkan. Aku akan terima, karena dulunya mimpi itu juga hanya bahan dasar tawa. Tapi siapa sangka, anak seorang penyapu jalanan kini menjadi generasi perubah bangsa???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar