Tanahku, engkau
telah memakmurkan musuhku
Nadiku, engkau
telah menghidupi hidup musuhku
Darahku, engkau
telah tersia-siakan mati karena hasratku
Tulangku, engkau
telah remuk oleh tirani musuhku
Lebih dari seratus
tahun aku mengadu
Tapi yang
tersaji hanyalah peluh dan debu
Dan wajah-wajah
sayu serta bisu
Lebih dari
seratus tahun aku memakna
Angkat senjata
dan dan bergerilya
Tapi tak jua aku
dapat berteriak merdeka
Kejayaan apa
yang dapat kurasa jika derita tak kunjung reda?
Adakah waktu
untuk dapat kuteriakkan “Indonesia
merdeka”?
Dan apakah nenek
moyangku yang telah mati suatu saat nanti akan dijadikan kusuma bangsa?
Aku ingin
menagih adil dari Tuhan, tapi tidakkah keinginanku ditolak-Nya?
Tidak! Tuhanku
menjawab derita yang berkepanjangan!
Aku sudah hidup
lebih dari seratus tahun
Kini aku akan
menunjukkan padamu perjalanan negeriku:
Negeriku aman
tenteram tanpa campur tangan
Hingga suatu
ketika, wajah bermuka dua datang mengembara
Awalnya kami
bersaudara
Tapi topeng
selalu untuk bersandiwara
Dan kami:
SENGSARA!
Tiga ratus tahun
negeriku hidup di lubang buaya
Lalu, setelah
lepas dari kandang buaya negeriku hidup dalam naungan sakura
Namun bukankah
keindahan yang negeriku rasakan
Sakura membuat
negeriku lebih sengsara daripada lubang buaya
Tapi, putera
negeriku yang gagah dan berani melawannya
Sama seperti
lawannya, putera negeriku memainkan drama dalam sandiwara
Hingga negeriku
meniti tanggga menuju merdeka
Cerita merdeka
itu dimulai dari sini:
Soekarno versus
Sukarni
Golongan tua
versus golongan muda yang tak bisa berkompromi
Namun
Rengasdengklok menjadi titik cerah bersatunya negeri ini
Tanggal tujuh
belas Agustus proklamasi telah berkumandang
Sangsaka merah
putih telah bertahta di angkasa
Lagu Indonesia
Raya telah dinyanyikan
Dan kami
sama-sama berteriak: MERDEKA!
Kami lepas!
Kami bebas!